Penulis: Dahono Prasetyo
Kebangkitan kaum Marhaenis yang beberapa dasawarsa menjadi kelompok marjinal, tidak serta merta disambut tepuk tangan kaum Nasionalis yang bertebaran di berbagai organisasi dan partai politik. PDI-Perjuangan sebagai parpol yang sedang berkuasa memandang masih sebelah mata kekuatan ideologis Marhaenis untuk masuk dalam gerbong partisipasi aktif perjuangan politik bernegara. Orang-orang Marhaenis sejati dianggap terlalu kaku dan cenderung tanpa kompromi untuk diajak bernegosiasi politik kepentingan.
Setali tiga uang dengan gerbong partai politik lain. Gerindra dan Nasdem-pun cukup puas dengan meminjam kredo Nasionalis untuk menarik antusias massa, namun mayoritas elitenya tetap berisi para oportunis. Berbekal label Marhaenis yang identik dengan Soekarnoisme, siapapun masuk dalam lingkaran partai manapun disambut segulung karpet merah dan pelukan paling karib dari pemilik Partai.
Namun seiring berjalannya waktu idealisme perlahan luntur, tergerus kesibukan bertransaksi dan negosiasi kepentingan yang jauh dari rasa cinta tanah air dan bangsa. Kader Soekarnois yang awalnya berwarna merah berubah menjadi kuning, biru, oranye atau bahkan hitam bertulis kalimat tauhid.
Merahnya nasionalisme yang seharusnya “mewarnai” justru menjadi “diwarnai”.
Pemilu serentak 2024 semakin dekat. Sepeninggalan Jokowi, magnet Marhaenis Soekarnoisme akan kembali menjadi sesuatu yang bernilai tinggi untuk point penting kemenangan kubu Nasionalis. Tidak bisa dipungkiri, kemenangan Jokowi dua periode sebagian dari sumbangsih suara Soekarnois yang sekian lama memilih Golput. Berharap besar untuk perubahan mendasar rezim otoriter yang masih kuat mencengkram tatanan kebijakan bernegara di tangan Neo Orba-nya kekuasaan SBY lalu.
Gerbong yang dikenal militan dan berakar kembali dibutuhkan sebaran jaringannya dalam suksesi 2024 yang diprediksi menjadi pertarungan paling alot. Tidak terkecuali kaum Marhaenis. Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) sebagai salah satu ormas berbasis ideologis tidak luput dari incaran para predator politik.
GPM dalam fungsi organisasi pada 2019 mencoba memasuki momentum kebangkitan kembali dari tidur panjangnya. Mencoba merapat pada lumbung kekuasaan di bawah naungan PDI-Perjuangan.
Namun yang terjadi justru anomali. Di kandang Banteng, GPM justru ditolak secara halus untuk menjadi organisasi massa yang bangkit untuk berpartisipasi aktif sejajar dengan GMNI, GSNI.
Alasan penolakan cukup masuk akal, persoalan GPM dan PDI-Perjuangan sama halnya membuka kotak pandora antara dua bersaudara Rahmawati dan Megawati. Sebuah garis batas imajiner sudah lama ditorehkan, secara ideologi mereka berdua tidak bisa disatukan. Rahmawati sang pewaris gerbong Marhaenis beserta GPMnya, sudah terkubur diam-diam semenjak Megawati memegang kendali kaum Nasionalis di era reformasi.
Marhaenisme secara ideologi sudah terbunuh di kandang Banteng. Silahkan masuk ke kandang Banteng dengan baju Soekarnoisme, tapi buang jauh faham Sosio Nasionalis dan Sosio Demokrasi.
Kekecewaan eksponen Marhaen dalam gerbong GPM berbuntut panjang. Ambisi berpartisipasi di kancah politik menjadi dilematis. Awal bulan Juli 2021, pewaris Marhaenisme Rachmawati Soekarnoputri meninggal dunia. Sepeninggalan putri kedua Proklamator itu, GPM semakin tidak “bertuan” di saat sedang berjuang mencari “tuan barunya”. Alhasil terjadilah momentum Konggres GPM di Bali bulan November 2021 setelah dilirik dan larut dalam bujuk rayu kader pohon Beringin.
Bambang Soesatyo, La Nyalla Mattalitti menjadi tuan baru GPM. Banyak pihak menyayangkan “terjerumusnya” GPM ke dalam jurang pragmatis hanya karena ambisi keinginan eksistensi. Bukan salah GPM yang berubah haluan karena ditolak di kandang banteng. Bukan pula salah Beringin yang berbaik hati mengasuh si anak hilang yang terlantar.
Kesalahan terbesar ada pada kaum Soekarnoisme yang gagal melahirkan kader Marhaenis baru. Para Marhaenis lama yang tak sadar sudah “dibunuh” di kandang banteng. Kesalahan mendasar bahwa berorganisasi harus dalam rangka untuk mendukung kekuasaan.