Penulis: Erri Subakti
Pidatonya tidaklah menggelegar, pembawaannya nyaris tak beda dengan ibu rumah tangga lainnya. Bahkan boleh jadi pada masanya, penampilannya tidak mentereng dibanding ibu-ibu di lingkaran elit kekuasaan waktu itu.
Meski rambutnya sering dibiarkan tergerai sebahu namun kharisma dan aura kepemimpinannya begitu kuat. Hal yang tidak dimiliki oleh ibu-ibu lingkaran elit lainnya, yaitu bagaimana ia tumbuh besar dari didikan salah satu pendiri republik negeri ini.
Susah dan senangnya republik ini sebagaimana ia alami sendiri di ring 1 pada masa negara besar ini tertatih-tatih untuk ‘berdiri,’ telah menggembleng mental dan kepribadiannya menjadi sosok yang memiliki magnet besar. Magnet yang tak lepas ‘diturunkan’ dari sosok ayahnya sendiri.
Tidak saja bayang-bayang ayahnya mewarnai kepemimpinan partai politik besar di negeri ini, tapi juga aura leadership dirinya sendiri kian tahun kian kuat untuk menarik massa militan untuk berbaris di belakangnya.
Ia-lah Megawati Soekarnoputri. Tekanan-tekanan besar kehidupan pernah ia hadapi tanpa pernah benar-benar jatuh tersungkur. Sejak “kejatuhan” ayahnya dari kursi kepemimpinan negeri ini, lalu hidup dalam gerakan yang terbatas, sampai “tangan-tangan yang tak terlihat” menghabisinya pada 27 Juli 1996, namun segala upaya pemerintah Orde Baru kala itu untuk menekannya, tak kunjung benar-benar membuat ibu rumah tangga ini menyerah sejengkal pun.
Markas PDI-nya hancur dan hangus akhir Juli 1996. Korban berjatuhan, mereka yang mempertahankan kantor PDI, bahkan ada yang hilang sampai saat ini tak diketemukan jejaknya.
Meski kedudukan kelembagaannya di-delegitimasi sedemikian rupa, kantornya dihabisi, magnet dirinya jauh lebih kuat dari sekedar legitimasi partai politik yang diakui pemerintah saat itu. Berdirilah PDIP, sebuah kata “perjuangan” disematkan di akhir nama partai tersebut, sebagai simbol akan perjuangannya yang tak kenal lelah, bukan sekedar membedakan dengan PDI yang sebelumnya.
Tahun 1999 kekuatannya menuai hasil, PDIP menjadi parpol pemenang pemilu kala itu. Sayangnya dirinya kembali dihalangi sedemikian rupa hingga ia tak bisa menjabat sebagai Presiden RI. Baru 2 tahun kemudianlah ia menjabat sebagai orang nomor 1 negeri ini, dan ia jalankan tugas tersebut selama 3 tahun.
September 2004 mentalnya kembali diuji saat ia dinyatakan kalah pada Pemilu, dikalahkan mantan anak buahnya. Ini menjadi pukulan yang sangat telak baginya. Namun begitu, pernah seseorang bertanya padanya, “Mbak kalau melihat mbak bisa tertawa begini, kok sepertinya mbak bisa menerima kekalahan ya?”
Megawati menjawab, “Lha iya toh, Saya ini orang yang taat konstitusi. Masak harus ngamuk kalau kalah. Ya ndak toh…”
Kenegarawanannya diuji ketika pada 8 tahun lalu (2014), berbagai lembaga survei merilis hasil survei mereka yang memperlihatkan bahwa elektabilitas Gubernur DKI Jakarta saat itu, yaitu Joko Widodo memiliki persentase yang lebih tinggi dibanding bakal calon presiden lainnya. Sehingga pada Bulan Maret 2014 Mega pun memberikan mandat kepada Joko Widodo untuk maju sebagai calon presiden yang diusung oleh PDIP.
Suka tidak suka, mau tidak mau, sosok Megawati telah menorehkan sejarah kemajuan demokrasi dan politik negeri ini. Atau seperti yang dikatakan oleh Pepih Nugraha, seorang jurnalis senior, “Megawati adalah perempuan politisi pemberani yang merelakan dirinya menjadi api pemantik runtuhnya sebuah rezim otoriter.”
Hingga kini Indonesia menyongsong kemajuan di bidang ekonomi dan menuju cita-citanya: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.