Penulis: Roger P. Silalahi
Semua jadi gaduh karena (lagi-lagi) Fadli Zon mempermasalahkan hal kecil menjadi besar. Gaduh yang tidak perlu perkara nama Soeharto disebut atau tidak, ditulis atau tidak, ada atau tidak, dalam kaitan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Permainan kata membuat seolah-olah ada hal besar yang berbahaya bagi seluruh negeri, sementara semuanya hanya bohong. Mirip dengan cara Roy Suryo pelintir ucapan Gus Yaqut, mirip dengan kasus Jenderal Dudung, kasus Ahok, dll.
Soeharto tidak akan hilang dari sejarah Indonesia, semua jasanya dan kejahatannya akan diingat oleh seluruh bangsa Indonesia. Pelintiran sejarah yang dilakukannya terkait Pemberontakan G 30 S/PKI pun akan jadi bukti bagi semua orang, seberapa buruknya Soeharto itu. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan, semua sedang digali kembali dan diluruskan.
Bukti-bukti yang dikeluarkan CIA pun turut membantu meluruskan sejarah bangsa Indonesia, sehingga pada akhirnya akan jelas apa yang terjadi sebenarnya. Sudah jelas mengapa Jenderal A.H. Nasution tidak menempati posisi apapun setelah Soeharto berkuasa. Sudah jelas bagaimana negara ini ‘dijual’ oleh Soeharto. Banyak yang sudah terjelaskan, dan masih akan lebih banyak lagi yang terjelaskan. Tidak ada kebohongan yang tidak akan terungkap.
Nama Soeharto disebut atau (kalaupun) tidak disebut, tidak akan berpengaruh apapun pada masa depan bangsa. Sebaliknya kegaduhan demi kegaduhan yang sengaja diadakan, sangat menghambat dan mengacaukan langkah-langkah perbaikan bangsa dan negara ini.
Negara dibuat gaduh oleh hal-hal kecil hasil pelintiran ucapan ‘orang top’ yang tidak bertanggungjawab. Adalah pengaturan TOA dipermaslahkan, ada peraturan halal haram mau dipaksakan, ada manusia mengancam membunuh pejabat negara dibiarkan, ada yang mengaku ustadz menginjak budaya dibiarkan, ada banyak kelompok manusia yang hanya mampu membuat gaduh, tapi hampir semuanya dibiarkan, ditindak pun setengah hati dan berakhir dengan dimaafkan. Hampir semua berakhir dengan materai sebagai perisai, minta maaf, selesai.
“Ketegasan dalam menegakkan hukum adalah kunci kedamaian dan ketenteraman, sebaliknya pembiaran dan permakluman atau pemaafan tidak akan pernah menjerakan”. Ketegasan aparat yang harus dipermasalahkan, tegakkan hukum.
Percuma bergelar banyak, dipampang dan dipajang seolah jaminan berilmu dan mampu berbuat. Percuma pangkat di pundak gaji didapat kalau hanya mampu duduk diam tapi tidak berani berbuat. Tampilan wah dibalut seragam, posisi tinggi dengan ratusan juta tunjangan, pendidikan tinggi bahkan gelar Professor disandang, tapi hanya mampu diam menyaksikan segala keburukan dan kedholiman dilakukan oleh perongrong bangsa.
Polri harus berani bertindak dengan tegas, bungkam semua mulut yang bicara sembarangan, ada KUHP, UU-ITE, yang seharusnya jadi pegangan, bukan silaturahmi dan saling memaafkan yang akan menyelesaikan perilaku laknat manusia bermulut setan. Komnas Komnas bertebaran, Ombudsman pun diam, hanya tahu duduk dalam ruangan. Semua dibayar oleh negara untuk membantu merapikan negara, membantu menciptakan kedamaian, bukan untuk menikmati uang tanpa kontribusi ataupun hasil yang dikerjakan.
Tidak malu kalian semua duduk dan hidup nikmat dibiayai negara tapi diam ketika melihat perilaku manusia lain yang merongrong dan merusak negara…? Nilai apa yang kalian wariskan pada anak cucu kalian…? Lakukan tugas kalian, tuntaskan setiap permasalahan, tindak setiap pelanggaran, Jangan Hanya Diam…!!!
Kalau tidak dimulai dari sekarang, entah berapa banyak kegaduhan akan diciptakan, entah berapa banyak perusakan yang akan terjadi, pembusukan yang akan harus diperangi, saat dimana kita seharusnya fokus memperjuangkan kelanjutan pembangunan negeri melalui suksesi di 2024 nanti.
-Roger Paulus Silalahi-