Penulis: Sutan Ma’rouf
Ada saya temukan video orang Minang menggertak-gertak (pemerintah, red.) Pusat dengan pedang. Saya hairan, mengapa pula mau menggertak-gertak Pusat dengan pedang? Kita orang Minang ini ndak ada track record menang berkonflik dengan pedang.
Di zaman dahulu ketika pasukan Singhasari datang, kita tak lawan mereka dengan senjata. Kita kasih saja dua orang anak gadis kita Dara Petak dan Dara Jingga untuk dibawa ke Jawa. Setiba di Jawa rupanya penguasa sudah bertukar dari Singhasari kepada Majapahit. Menurut satu versi keduanya dikawini Raja Majapahit Raden Wijaya. Yang satu melahirkan Jayanegara yang kelak menjadi Raja Majapahit dan satunya lagi melahirkan Adityawarman yang nantinya menjadi Mahamentri Majapahit lalu mendirikan Kerajaan di Saruaso, dekat Pagaruyung.
Kan cerdik kita itu. Dengan cara seperti itu, sesuai adat matrilineal, orang awak menjadi pemimpin Majapahit. Raja Majapahit nan kedua adalah urang awak, anak dari seorang perempuan kita, Dara Petak. Sedangkan adiknya menjadi Mahamentri.
Ketika pasukan Majapahit datang untuk menyerang, orang kita bukannya melawan habis-habisan tetapi mengajak mereka bertanding kerbau. Kita akal-akali mereka dikit dengan ujung tanduk yang dikasih pisau. Maka menanglah kerbau kita. Terburai isi perut kerbau Majapahit.
Tetapi ketika orang kita mencoba bermain pedang berperang dengan Bugis di Johor, tersingkirlah kita. Raja Kecik yang kita sokong terpaksa mundur ke Siak. Hingga kini Johor tetap dikuasai dinasti Bugis.
Ketika pasukan Belanda datang, kita lawan dengan senjata. Kalahlah kita. Istana Pagaruyung dibakar, raja terakhir dibuang ke Betawi. Habislah kita.
Para tokoh kita di Bukittinggi akhirnya belajar bahwa kita tidak punya bakat untuk menang dengan perlawanan fisik. Maka mereka membuka diri untuk bekerjasama dengan Belanda dalam hal pendidikan. Senang hati Belanda, dibangunnya sekolah di kampung kita, diberinya beasiswa kepada anak nagari kita untuk bersekolah ke negeri kincir angin itu. Itulah makanya ketika pergerakan kemerdekaan, banyak orang kita di sana. Tokoh-tokoh pendiri bangsa ini kebanyakan adalah orang kita. Sebab apa? Sebab mereka terdidik. Bukan sebab mereka membawa pedang.
Pedang dan keris sudah disarungkan, digantikan dengan pena, dawat, dan retorika.
Setelah merdeka, ada lagi yang berusaha menghunus bedil ke pusat dalam gerakan PRRI. Ini bedil ini, lebih ganas daripada pedang. Hasilnya, pusat mengirim pasukan. Seperti naga dia julurkan lidah apinya membakar kampung kita dan lagi-lagi kalahlah kita. Negeri berubah menjadi negeri yang dikalahkan garuda. Jatuh mental orang kita. Sampai-sampai menunduk menukar nama dengan nama-nama Jawa supaya tidak nampak lagi Minangnya. Untunglah Soekarno masih berbaik hati, diberinya amnesti sesudah orang kita meminta ampun.
Selepas itu Gubernur-gubernur kita mulai paham bahwa kita tak bakat main pedang. Maka didekatinya pusat. Digolkarkannya kampung kita nan Masyumi ini. Senang hati pusat karenanya. Dibangunlah sekolah, bendungan, dan jalan yang licin-licin. Sampai-sampai orang berkata, kalau sudah licin jalan, tandanya sudah sampai kita di Sumatera Barat. Jarang benar jalan berlubang di kampung kita.
Tak perlulah menggertak-gertak dengan lading*). Bakat orang kita tidak di situ. Alam Minangkabau itu asalnya dari kerajaan kata-kata, kerajaan wacana. Dia tidak dibangun dari perang, aneksasi atau penaklukan. Dia dibangun dari cerita-cerita mitos nan agung. Hegemoninya tumbuh dari tetesan air liur, bukan dari tetesan darah.
Itu makanya kalaupun ada senjata, senjata warisan kita itu yang kecik-kecik saja. Entah itu keris sebagai perlambang nobility, atau kurambit bila sudah benar-benar terdesak. Tidak ada senjata tempur. Ilmu bela dirinya ilmu bela diri perseorangan. Isinya lebih banyak berisi keindahan gerak karena ia hanya diciptakan untuk pertarungan para pemuka, untuk menampakkan dignity, bukan untuk formasi tempur.
Selebihnya, mereka berdiplomasi, berdebat, berwacana, berakal-akal, menghunus pena, dawat, menyemburkan retorika dan argumentasi. Mungkin karena itulah mengapa bangunan utama tiap polis (nagari) kita bukan benteng apalagi istana, melainkan balairung adat tempat berbalaghah, bertukar pikiran, bersilang gagasan melalui susunan kata. Dengan cara itulah ninik muyang kita membangun negeri.
*) Lading : Pedang.