MUI dan TOA

Penulis: Roger P. Silalahi (Joy)

Telah dikeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala oleh Menteri Agama pada tanggal 21 Februari 2022. Sambutan langsung datang dari ormas Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh yang mengapresiasi terbitnya SE Menteri Agama tersebut. Tapi ada beberapa pernyataan yang disampaikannya yang memicu otak saya untuk berpikir sedikit, merenungkan sedikit, dan menuliskannya.

Pernyataan pernyataan tersebut adalah:

-Iklan-
  1. Dalam pelaksanaan ibadah, ada jenis ibadah yang memiliki dimensi syiar sehingga membutuhkan media untuk penyiaran, termasuk azan. Tapi dalam pelaksanaannya perlu diatur agar berdampak baik bagi masyarakat. Jemaah dapat mendengar syiar, namun tidak menimbulkan mafsadah (kerusakan)
  2. Perlu aturan yang disepakati sebagai pedoman bersama. “Khususnya terkait penggunaan pengeras suara di tempat ibadah untuk mewujudkan kemaslahatan dan menjamin ketertiban serta mencegah mafsadah yang ditimbulkan
  3. Penerapan aturan ini perlu memperhatikan kearifan lokal tidak bisa digeneralisir. Kalau di suatu daerah, terbiasa dengan tata cara yang sudah disepakati bersama, dan itu diterima secara umum, maka itu bisa dijadikan pijakan. Jadi penerapannya tidak kaku
  4. Sementara itu tanggapan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah, Cholil Nafis agak berbeda, Ia meminta Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas juga “Mengatur pengeras suara rumah ibadah agama lainnya juga”.

Hasil pemikiran saya dalam kondisi sehat dan tanpa tekanan dari pihak manapun adalah:

1. Azan dan Syiar
Azan (ejaan KBBI) atau adzan (bahasa Arab: أَذَان‎ [ʔaˈðaːn]) merupakan panggilan ibadah bagi umat Islam untuk menunaikan salat fardhu. Azan dikumandangkan oleh seorang muazin dari masjid setiap memasuki lima waktu salat. Kata azan sendiri berasal dari kata ʾadzina أَذَّنَ yang berarti “mendengar atau diberi tahukan”. Panggilan kedua setelah azan dinamakan iqamah digunakan untuk memberitahu makmum bahwa ibadah salat akan segera dimulai.

Syiar menurut Ensiklopedi Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve, tidak ada di Al Quran, yang ada adalah padanannya, sya’a-ir Allah merupakan simbol-simbol Allah SWT yang terdiri atas segala hal yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah haji, seperti: (1) tempat, yakni afa, Marwa, Ka’bah, Arfah dan sebagainya; (2) manasik dan ibadah wajib; (3) larangan-larangan, misalnya berburu dan (4) waktu dan musim pelaksanaan kewajiban haji.

Sedangkan dalam Alquran, syiar-syiar Allah SWT itu diartikan dengan (1) tanda-tanda atau tempat bertaat kepada Allah SWT dan (2) segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadah haji. Di kalangan umat Islam Indonesia, kata syiar juga sering dipakai dengan dihubungkan pada kata Islam, sehingga menjadi syiar Islam. Syiar Islam diartikan sebagai kemuliaan dan kebesaran.

Sementara yang dikatakan “dimensi syiar” mungkin lebih tepat dinyatakan sebagai salah satu fungsi azan adalah sebagai sarana memberitahu saatnya beribadah, sehingga orang dapat melihat ketaatan kaum Muslim atas ketaatannya beribadah. Ini masih lebih bisa diterima, karena dimensi syiar tidak berhasil saya temukan dimanapun kecuali di pernyataan beliau tersebut.

2. Peraturan yang Disepakati
Ini sangat baik dan benar, perlu ada kesepakatan terkait isi dari peraturan terkait pengeras suara ini. SE Menag menetapkan 100 dB (desibel), nah ini yang perlu dipertanyakan. Kedokteran membatasi tingkat maksimal 80-85 dB, konsekuensinya adalah terjadinya gangguan pada pendengaran (hearing impairment). Jadi apa dasar pertimbangan 100 dB dalam SE Menag tersebut…?

3. Kebiasaan dan Tidak Kaku
Ini sama saja dengan tidak ada peraturan, ‘diterima secara umum’ tidak bisa dipakai sebagai acuan, karena peraturan berlaku untuk semua, kepentingan semua, termasuk yang tidak menerima apa yang dinyatakan ‘diterima secara umum’. Kasus Meiliana adalah contoh paling memalukan dari masalah yang ditimbulkan pengeras suara di tempat ibadah, dan bukti bahwa ‘diterima secara umum’ tidak dapat dijadikan acuan.

4. Berlaku Bagi Rumah Ibadah Lain
Pernyataan ini menjadi tertawaan banyak orang, karena selama hampir 77 tahun Indonesia merdeka, belum pernah terdengar adanya masalah dengan pengeras suara dari Gereja, Pura, Vihara, atau Kuil. Tapi baiklah kita terima dan telan saja sebagai bentuk masukan yang perlu dihargai, ada peraturan yang perlu ditaati.

Selain hal-hal di atas, perlu rasanya saya memberikan masukan terkait Surat Edaran ini, agar sekiranya dapat dilanjutkan dengan juklak dan juknis serta pengaturan berbagai hal terkait secara detil dan lengkap. Ini penting, karena sebuah peraturan sebaiknya mencantumkan keseluruhan variabel yang terkait dengan peraturan tersebut, agar jelas arah dan alur tindakan yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran atas peraturan tersebut.

Terakhir, agar tidak salah kaprah, bahwa TOA adalah merek pengeras suara buatan Jepang, sementara pengeras suara berbentuk corong yang sebenarnya bernama megaphone ini ditemukan oleh Pastor Athanasius Kircher, SJ seorang imam Katolik dan ilmuwan yang lahir di kota Geisa – Jerman pada 02 Mei 1602. Pastor Athanasius memiliki 40 penemuan, selain megaphone ada mikroba, magnet, dan berbagai automaton, sungguh seorang ilmuwan dan Pastor yang menyumbangkan banyak kebaikan dalam hidupnya untuk semua manusia.

Roger Paulus Silalahi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here