Penulis: Roger P. Silalahi (Joy)
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 menjadi polemik baru, karena peraturan ini secara otomatis mencabut Peraturan Menteri Nomor 19 tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Manfaat Jaminan Hari Tua. Masalahnya ada pada ketentuan bahwa pencairan Jaminan Hari Tua ditetapkan baru dapat dilakukan setelah pemegang JHT berusia 56 tahun.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan bahwa seharusnya tidak perlu dipermasalahkan terkait pencairan JHT di usia 56 tahun tersebut, karena pemerintah telah mempersiapkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Jaminan Kehilangan Pekerjaan adalah program yang akan memberikan manfaat bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam bentuk uang tunai, akses ke informasi pasar kerja, dan program pelatihan.
Pemerintah meng-claim bahwa JKP telah berjalan sejak 1 Februari 2022, sementara serikat pekerja meminta bukti bahwa program JKP sudah berjalan. Serikat pekerja juga menyoroti program JKP yang mengambil dana jaminan kecelakaan kerja, iuran dari kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Hal ini dinyatakan menyalahi ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Dalam polemik ini, saya ingin menyoroti 5 hal:
1. Perencanaan dan Jangka Waktu
2. Komunikasi dan Sosialisasi
3. Pelaksanaan dan Kontrol
4. Realita dan Hak
5. Momentum dan Empati
Menurut hemat saya, keluarnya Permenaker No. 2 Tahun 2022 tidak dilakukan dengan bijak, terburu-buru, dan terkesan dipaksakan. Program baru yang ‘akan’ dijalankan walau dinyatakan ‘sudah’ berjalan, belum ajeg dan belum berbukti. Sebuah peraturan harus dikeluarkan dengan mengacu pada ketetapan pemberlakuan yang disesuaikan dengan hal yang diatur, dengan mempertimbangkan jangkauan dan kepada siapa peraturan tersebut akan berpengaruh. Dalam hal ini, Permenaker ini gagal (atau tidak) memperdulikan pihak yang akan terkena dampak, dalam hal ini semua pekerja di Indonesia.
Komunikasi dan sosialisasi Permenaker tentang JHT ini tidak mumpuni, sangat singkat, demikian pula program JKP. Program JKP ini bahkan baru terdengar setelah ada kebutuhan menyanggah penolakan atas Permenaker No. 2 Tahun 2022. Tidak mampukah pemerintah membuat dan menjalankan keseluruhannya dengan ‘time frame‘ yang baik…? Tidak mampukah berkomunikasi dengan pemegang kepentingan atau perwakilannya atas peraturan baru yang akan dikeluarkan…? Haruskah negara ini dibuat gaduh oleh berbagai hal yang tidak perlu, yang seharusnya dapat dikomunikasikan, berembug sebelum menunjukkan kekuasaan, agar tidak perlu ada kegaduhan…?
Sangat memalukan ketika pemerintah mengatakan JKP sudah berjalan sejak 1 Februari 2022, sementara Permenaker No. 2 Tahun 2022 diundangkan pada tanggal 2 Februari dengan masa berlaku ditetapkan 3 bulan setelahnya. Apakah cukup waktu 3 bulan untuk memastikan pelaksanaan dan kontrol atas pelaksanaan JKP, mensosialisakannya pada seluruh angkatan kerja di Indonesia…? Apakah tidak terpikir bahwa penolakan akan terjadi dan akan menjadi masalah apabila pelaksanaannya tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan terkait JKP…?
Dari mana dana JKP diambil…? Ini masalah besar, pemerintah melalui BPJTK telah berlaku sewenang-wenang. Dana dari JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja) selayaknya hanya dapat digunakan dalam kaitan dengan kecelakaan kerja. Dana itu bukan milik pemerintah, itu dana milik pekerja. Jangan rusak kepercayaan yang diberikan masyarakat dalam mengelola dana yang ada dengan seenaknya mengalokasikannya untuk kepentingan lain. Kenyataannya, apakah ada dana untuk program JKP, jika tidak ada, maka siapa yang membuat program dengan tidak memperhitungkan dana yang diperlukan…? Sungguh memalukan.
Menteri Tenaga Kerja mungkin lupa, bahwa perekonomian dunia terpuruk selama 2 tahun terakhir akibat pandemi. Berapa banyak yang sudah kehilangan pekerjaan, berapa banyak lagi yang akan kehilangan pekerjaan…? Bagaimana pekerja tidak berteriak menolak, mereka butuh makan, mereka butuh pekerjaan, butuh dana untuk usaha kecil agar tetap makan. Selama 2 tahun berapa banyak yang hidup dari menjual barang dan aset atau bahkan mengambil pinjaman dari bank. Di mana empati…? Apakah tepat menggulirkan program ini pada saat ini sementara dana sedang sangat dibutuhkan masyarakat…?
Jaminan Hari Tua diambil dengan cara memotong gaji/pendapatan dari pekerja, itu uang pekerja, milik pekerja. Apakah ada hak pemerintah, BPJS, atau siapapun menahan pekerja yang mau mengambil uang yang didepositokannya…? Cobalah berpikir, berempati, walau tidak pernah duduk sebagai pekerja sekalipun.
Ketika mengambil langkah, terlebih yang bersinggungan dengan hak orang lain, bersinggungan dengan kepentingan banyak pihak, berhati-hatilah. Pertimbangkan dengan baik, komunikasikan dengan baik, jalankan dengan baik, sesuaikan dan posisikan diri pada posisi mereka yang terdampak. Posisi dan kekuasaan diberikan sebagai amanat, seharusnya diterima sebagai amanat, dan dijalankan untuk kepentingan masyarakat sebagai pemegang mandat tertinggi atas pemerintah.
-Roger Paulus Silalahi-