Penulis: Erri Subakti
Hampir jam 12 tengah malam, di meja ruang rapat lantai 11 kini tersedia makanan. Entah, apakah ini sajian makan malam atau “makan siang.”
Masih terjadi brainstorming antara CEO, BOD, dan MD atas konsep Public Relation yang kupaparkan sebelumnya. Aku menganggap publikasi dan pendekatan perusahaan pada masyarakat sudah basi. Model ‘kampanye propaganda periklanan’, dengan mengusung slogan macam “kecap no.1″ adalah sebuah konsep yang usang.
Pencitraan perusahaan berada dalam kondisi paling buruk. Penolakan warga masyarakat di wilayah perusahaan beroperasi dalam pengolahan sumber daya alam, sangat tinggi. Tingkat resistensi masyarakat mencapai 87,5% yang menganggap bahwa perusahaan berdampak buruk bagi masyarakat sekitar. Hanya 12,5% saja yang masih menilai baik terhadap perusahaan. Hampir tiap minggu masyarakat berdemonstrasi dengan beragam tuntutannya.
Kuungkapkan bahwa program PR yang harus dijalankan adalah program yang terintegrasi dengan kegiatan CSR yang memang sesuai dengan kondisi masyarakat setempat. Bukan saja sebagai “sinterklas” bagi masyarakat. Masyarakat harus terbangun dengan pola bottom up, bukan lagi menjalankan program CSR dengan pola top down, yang belum tentu sesuai dengan pola mencari nafkah di wilayah tersebut.
Aku mengkritik program CSR sebelumnya yang menggulirkan program peternakan sapi. Padahal masayarakat setempat telah terbiasa dengan pola bekerja “fast money.” Uang besar dan cepat, baik itu mereka sebelumnya melakukan pembalakan kayu di hutan atau pun mendulang tambang emas secara mandiri.
Aku mengusulkan assessment yang lebih mendalam dan matang lagi sebelum menggulirkan program integratif PR dan CSR yang sesuai dengan karakter masyarakat setempat. Tidak saja hanya berbicara pendekatan kuantitatif, melainkan juga kualitatif. Kebutuhan sesungguhnya dari masyarakat harus kita fasilitasi.
Tapi pada akhirnya kuusulkan untuk menyudahi saja meeting di antara ‘orang-orang gila’ ini. Mengingat otak manusia yang sudah pada lelah seharian ini.
“Kita perlu istirahat dulu, untuk menyegarkan pikiran dan dilanjutkan keesokan hari.” usulku.
Rapat direksi pun bubar. Aku menyempatkan diri ke musholla kantor sebelum pulang. Pak Sapri security kantor yang bertugas pada shift malam menanyakanku apakah meeting sudah usai, dan kuanggukan kepala.
***
Jalanan metropilitan sudah sangat lengang, meski kota tak pernah mati. Berseliweran berbagai mobil dari yang paling mewah hingga gerobak para pemulung melintasi ruas jalan-jalan Jakarta yang tak pernah tidur.
Persis di depanku, mobil pick up bak terbuka yang berisi sayur mayur yang akan menuju Pasar Minggu. Di antara sayur-sayuran itu ada dua ibu-ibu yang silau dengan cahaya mobilku nampaknya. Kuredupkan lampu, nampak muka-muka lelah yang menahan kantuk, harus segera bersiap mencari nafkah pada dini hari yang dingin ini.
Sementara di sebelah pick up itu, ada sebuah mobil dengan lambang kuda jingkrak yang dikendarai anak muda yang bergaya metroseksual. Tampak paradox. Kota ini seakan menyisihkan mereka-mereka; para pedagang pasar, pedagang asongan, kaki lima, pemulung, bahkan tukang sampah jalanan. Namun tanpa mereka semua, bagaimanakah pergerakan perekonomian kota? Saya jamin masyarakat kota pun akan mengalami kesulitan.
Melihat perjuangan orang-orang kecil, aku jadi teringat Oji, sahabat masa kecilku. Aku ingin menyempatkan diri ke rumah Oji besok. Dada ini rasanya penuh, seperti ada sesuatu yang ingin meluap.
Waktu menunjukkan pukul satu saat aku tiba di rumah. Nena terlelap dalam tidurnya yang damai. Lepas satu rintangan, lewat satu tekanan hidup, kembali ia harus menghadapi beban berat atas kondisi medisnya.
Kamu harus kuat sayang… Kamu harus membuktikan bahwa kanker tak kan melumpuhkan perempuan tangguh sepertimu.
Siang tadi melalui telepon ia bercerita telah berkonsultasi dengan dokter lain untuk mendapatkan second opinion. Satu-satunya solusi adalah dengan operasi pengangkatan sel-sel kanker pada payudara kanannya. Ia mempertimbangkan untuk melakukan itu di Singapura. Satu operasi semoga cukup untuk menghentikan penyebaran kanker di payudaranya.
Aku membatin, Kita mungkin memiliki 100 masalah, tapi percayalah bahwa Tuhan memiliki 101 jalan untuk menyelesaikannya. Aku tak pernah tau seberapa berat kondisi ini untukmu…, tapi aku sangat ingin mendengarkanmu berkata, “I will stay alive…”
Kadang dalam hidup ini..,
kita lebih suka menghitung masalah daripada menghitung kenyamanan yang sudah kita terima.
Bukankah ada terlalu banyak hal berharga yang kita dapatkan secara gratis setiap harinya?
… If life too easy.. there’s something wrong…