Penulis: Nurul Azizah
Saya dilahirkan dan dibesarkan di suatu desa kecil di wilayah Provinsi Jawa Tengah.
Kakek buyutku adalah tokoh-tokoh NU terkemuka. Saya pun mengikuti ajaran islam rahmatan lil alamin dan tradisi ahlusunah waljamaah Nahdlatul ulama secara turun temurun.
Ketika saya beranjak dewasa, saya pindah ke Semarang karena alasan melanjutkan pendidikan tinggi. Sampai aku berkerja dan berumah tangga di Semarang.
Di lingungan tempat tinggalku adalah daerah basis NU karena saudara-saudaraku sudah duluan menjadi tokoh NU di sekitar tempat tinggalku. Juga banyak tokoh-tokoh NU di suatu kelurahan di Semarang.
Dulu kehidupan di sekitar tempat tinggalku tampak budaya NU, kaum adam banyak sarungan dan pecisan hitam. Sedangkan yang perempuannya memakai baju ala pesantren, baju muslimah biasa dan pakai kerudung.
Masyarakatnya guyup, rukun dan damai dengan masyarakatnya yang mayoritas muslim. Kalaupun ada yang non muslim itu hanya sedikit, dan satu sama lain saling menghormati.
Setelah datangnya kelompok yang berpakaian celana cingkrang dan perempuannya bercadar. Pemandangan berubah. Tiba-tiba kampungku kayak kampung arab, setiap hari ketemu orang berpakaian kathuk cingkrang berjenggot dan yang perempuan bercadar. Mereka orang Indonesia yang sudah mulai meninggalkan budaya bangsanya sendiri. Bicaranyapun kearab-araban dan komunitas mereka bertambah terus. Kampungku tidak lagi seperti dulu, setiap saat ada pemandangan kelompok yang tidak lagi mau ziarah kubur, tahlilan, manaqiban, semak’an Al-Quran, maulidan, istiqosahan dan lain-lain amalan NU. Mereka membentuk komunitas sendiri, yang cenderung tertutup dan kurang bersosialisasi dengan masyarakat sekitar.
Dari ustad-ustad yang mengisi kelompok tersebut terindikasi mereka adalah bagian dari kelompok wahabi. Karena ustad-ustad mereka telah terdaftar sebagai ustad wahabi. Lagian para jamaahnya sering membagikan ceramah-ceramah dari ustad wahabi.
Budaya luhur Nusantara dikit demi sedikit mulai luntur dengan budaya ala wahabi. Sifat gotong royong, tepo sliro, saling membanggakan budaya asli Indonesia sudah mulai terkikis. Mereka bangga dengan budaya asing, padahal mereka menghirup udara Indonesia, bertempat tinggal beranak pinak di Indonesia, minum dari sumber air Indonesia, makan makanan asli Indonesia, tapi mengapa mereka menolak budaya asli Indonesia.
Daerah saya bukan gurun pasir, dan bukan keturunan bangsa Arab.
Terus siapa yang akan meneruskan budaya asli Indonesia, kalau orang mulai berbondong-bondong ikut kelompok wahabi.
Untuk itu saya terketuk untuk mengangkat masyarakat asli Indonesia di tengah-tengah gempuran masuknya faham wahabi. Kita-kitalah penerus perjuangan leluhur bangsa kita yang majemuk, plural dan cinta budaya asli Indonesia.
Namun entah mulai 1 dekade ke belakang, sesuatu yang telah selesai saat para founding fathers merumuskan dan membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dengan bingkai Bhineka Tunggal Ika, kembali digesek-gesek oleh sekelompok pihak yang berambisi dengan kepentingan politik dengan dibungkus agama.
Soal agama dijadikan dasar dalam kancah perebutan kekuasaan politik. Dalil-dalil dan ayat dijual murah untuk meraup suara massa. Topeng-topeng politikus busuk berbungkus agamis menjadi trend yang laris didagangkan dalam pasar kotor politik.
Dan itu sampai berimbas ke akar rumput. Gerakan dan ideologi pemurnian agama yang dibawa oleh aliran Wahabi bertemu dalam kubangan politik yang saling menguntungkan bagi kelompok-kelompok tertentu. Siapa menggunakan siapa sebagai apa.
Cukong pemodal menggelontorkan dana segar bagi para politisi untuk berdandan bak ulama. Ulama-ulama dadakan dan karbitan tanpa keilmuan yang jelas dan mumpuni tiba-tiba bermunculan seperti jamur di musim penghujan.
Tanpa ilmu dan kemampuan agama yang mendalam dan layak, hanya bermodal orasi yang penuh caci maci dan kedengkian, mengaduk-aduk emosi masyarakat, membelah kerukunan yang telah terjalin puluhan bahkan ratusan tahun, merobek rajutan kebangsaan.
Itu semua membuat saya terketuk untuk tidak bisa tinggal diam. Dengan karunia ilmu dan kemampuan yang saya miliki, saya harus berupaya meski sekecil apapun untuk mengembalikan kondisi masyarakat di lingkungan saya, dan umumnya secara luar di negeri tercinta ini, menjadi kembali rukun, guyub dan damai.
Karena itulah melalui tulisan-tulisan saya di SintesaNews.com yang kini telah terbit menjadi buku, “Muslimat NU di Sarang Wahabi”, saya hanya mencoba mengingatkan akan bahaya dari pemurnian agama ajaran wahabi jika masuk berkecimpung dalam kubangan perebutan kekuasaan politik.
Sejarah berdirinya negara wahabi penuh dengan darah dan peperangan. Dan saya tak ingin sejarah kelam itu terjadi di negeri ini.
Nurul Azizah
Baca juga:
Baca Bunga Rampai Kumpulan Artikel Nurul Azizah lainnya di sini: