EDITORIAL SintesaNews.com
Sementara masalah banjir di Jakarta dan sekitarnya telah diambil alih pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden Jokowi telah menginstruksikan kepada para pemangku kepentingan untuk mengerjakan program pengendalian air hujan dan perubahan iklim dunia, Gubernur DKI Jakarta malah mengerjakan hal-hal yang tak memberikan solusi.
Kata-katanya saat kampanye dalam mengatasi banjir saja tidak pernah terbukti. Dari mulai “air masuk ke dalam tanah bukan dialirkan dengan gorong-gorong raksasa ke laut,” vertikal drainase, hingga konsep naturaliasi yang tak ada wujudnya. Karena memang tidak mampu dikerjakannya. Ngomong dulu, soal dikerjakan, ya tidak bisa.
Alih-alih Anies langsung bekerja mengatasi masalah banjir, sesuai kewenangannya, ia malah menyiapkan TOA yang dipasang di beberapa titik lokasi. Alasannya sebagai alat penyebaran waspada banjir? Menggelikan!
Anggarannya pun gila, tak tanggung-tanggung, Rp4 miliar!
Padahal tak perlu orang jenius untuk tau bahwa masalah yang harus diatasi adalah pengendalian air hujan agar tidak terjadi banjir, bukan masalah kewaspadaan masyarakat akan datangnya banjir. Apalagi di era digital penyebaran informasi lebih cepat dari kecepatan cahaya. Maka TOA yang disiapkan oleh Anies sebagai Gubernur DKI bukan berniat untuk mengatasi banjir di Jakarta.
Lalu TOA untuk apa?
Mobilisasi massa? Sebagai komando dalam aksi demo?
Masih tercatat dalam sejarah ketika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 menjadi Pilkada terburuk di era reformasi ini dimana masjid-masjid dengan TOA-nya malah mengumbar ujaran-ujaran kebencian. Penghasutan dengan mengkaifr-kafirkan orang lain hingga masjid juga menjadi tempat massa aksi demo tidur, untuk shalat di lapangan Monas.
Sebenarnya apa sih yang sedang disiapkan Anies?
Bukan pelebaran sungai, malah pelebaran trotoar yang menelan biaya Rp1,2 triliun!
Dari sudut pandang redaksi SintesaNews.com, Anies sedang mempersiapkan lahan untuk massa berjalan kaki menuju pusat kota.
Kita lihat juga program Anies saat ini yaitu membabat pepohonan di “hutan kota” di sekitar Monas. Alasannya, untuk berkumpul massa?
Dilansir dari Media Indonesia, Kepala Unit Pengelola Kawasan (UPK) Monas, Isa Sanuri, menginformasikan jika kawasan wisata di Jakarta tersebut tak lagi memiliki lahan parkir. Hal itu guna mendorong penggunaan transportasi umum.
“Memang mengutamakan transportasi publik, mendorong masyarakat menggunakan transportasi publik,” kata Isa, Sabtu (18/1).
Nantinya, masyarakat yang berkunjung ke Monas dapat menggunakan beberapa transportasi publik. Mulai dari Trans-Jakarta hingga Moda Raya Terpadu (MRT).
“Ke depan konsepnya sisi barat ada stsiun MRT. Kalau udah dibuka tapak dari Gambir, kawasan sektor timur bisa masuk. Kalau Gambir sudah pindah ke Manggarai, nantinya jalur commuterline Manggarai bisa masuk dari Gambir. Trans-Jakarta kan ada di selatan,” ungkapnya.
Kalau kita melihat bahwa ini hanya berkaitan agar para pengunjung Monas tak membawa kendaraan pribadi dan menggunakan moda transportasi umum, perlu kita lihat dari sudut pandang lain. Yaitu, mempermudah massa dari Bodetabek memenuhi Monas yang telah dijadikan simbol bagi umat 212 untuk kiblat berkumpulnya mereka.
Sudah terang benderang bahwa massa dari Bodetabek yang paling getol menjatuhkan Basuki Tjahaja Purnama yang kini menjabat sebagai Komut Pertamina dari kursi Gubernur DKI Jakarta dalam Pilkada 2017 silam.
Pengeras suara disiapkan, tempat berkumpul disiapkan. Bukan kebetulan tentunya.
Jadi mengingatkan belum lama ini terbongkarnya dokumen skenario “pelengseran Gus Dur” yang lengkap dengan aktor lapangan untuk mobilisasi massa.
Maka menjadi pertanyaan, gerakan “people power” apa yang sedang disiapkan?
Kapan dan atas dasar apa gerakan akan dimulai?
Apakah pemerintah siap menghadapi mobilisasi masa besar-besaran?
Anies, sebenarnya apa yang sedang kau siapkan? Mengepung istana dengan massa? Mau apa?
Ya mau jadi presiden kaleee, masa’ mau jadi sales toa….