Penulis: Erri Subakti
Salah 1 kesimpulan yang saya dapat dari riset penggemar K-pop, adalah bahwa fanatisme yang berlebihan (fanatisme buta, bukan sekedar fans biasa) itu yang mendorong dan menggerakan roda kapitalisme dalam industri (dalam konteks riset ini soal K-Pop).
Maka produsen, brand, atau pemodal, dalam bahasa Marx kaum kapitalis justru perlu membangun fanatisme buta. Meski secara persentase konsumen produk, mereka lebih sedikit dari fans-fans biasa yang rasional, namun fanatisme mereka menggerakan gelombang fans-fans biasa lebih aware, dan meningkatkan engagement terhadap produk suatu industri, hingga berkahir pada transaksi atau pembelian-pembelian produk.
Membangun fanatisme buta ini tidak hanya dalam industri K-Pop, tapi juga hampir di semua industri bahkan di dunia sepakbola, dan juga…. AGAMA.
Sudah bukan hal aneh fanatisme terhadap klub dan sepakbola membuat orang-orang rela mengeluarkan uang demi klub/pertandingan sepakbola idola mereka. Dan para fans ini memiliki satu aspek yang SANGAT PENTING bagi dunia industri, yaitu: LOYALITAS, atau kesetiaan.
Mungkin loyalitas bagi fans garis keras yang gak punya cukup uang, terlihat tidak terlalu penting bagi produsen, tapi kalau dilihat jangka panjang, berapa banyak akhirnya mereka (terutama generasi muda) yang seiring waktu semakin mapan perekonomiannya. Maka bangunan loyalitas yang telah terpupuk di dirinya menjadi “tabungan” atau investasi penting bagi para produsen/pemilik modal.
Begitu juga di bidang agama.
Dua dasawarsa ini agama sudah menjadi komodifikasi bagi para pemilik modal. Embel-embel syariah, halal, muslim, dsb. menjadi kata kunci untuk meraup transaksi yang besar dari pasar yang berkembang. Kelas-kelas menengah tumbuh, yang bukan berasal dari pesantren, dari pendidikan umum, orang biasa, lalu menjadi kelas menengah baru, atau mapan, kemudian dorongan untuk tampil lebih relijius, dan kebetulan mampu, membuat market muslim menjadi pasar yang sangat besar.
Kelompok kelas menengah baru muslim ini justru market potensial bagi para pemilik modal. Dengan embel-embel syariah, HSBC sempat menjadi bank syariah terbaik pada masanya. Denyan embel-embel “muslim” seperti “Muslim Book Fair” atau “Muslim Fashion Week”, merupakan ajang meraup keuntungan bagi para pemilik modal dari fanatisme agama.
Maka jelas, fanatisme (buta) pada akhirnya justru memperkokoh tiang-tiang penyangga kapitalisme. Apapun bidangnya. Dari Kpop hingga muslim.
Ramainya “reuni” jalanan massa 212 kalau kita skeptis, memang seperti hanya sampah perdaban. Tapi ada peluang pasar di situ. Hal paling kecil, sektor informal seperti tukang minum, kopi dll. dsb. mendapat rezeki dari ramai-ramai kaum fanatik buta itu.
Kenapa kita juga ga melihat itu sebagai peluang dagang?
Tapi apa ya yang bisa mendapat cuan dari massa 212? Kere-kere begitu… mereka ngumpul juga nunggu jatah nasi bungkus yak..?
(Erri Subakti)
Analis Sosial Budaya
Peniliti gaya hidup dan budaya pop