Penulis: Erri Subakti
Ini Amir dan Fortuner miliknya sendiri.
Berplat kuning yang berarti Fortuner tersebut memang kendaraan transportasi yang secara legal memiliki rute tertentu. Nabire, Dogiyai, Deiyai, dan Paniai, adalah 4 kabupaten yang menjadi rute Amir dalam mencari nafkah.
Pria berusia sekitar 28 tahun ini adalah ‘perantau’ dari Sulawesi Selatan yang telah meninggalkan kampung halamannya semenjak lulus SD. Awal merantau ia bekerja sebagai pemelihara kapal sampai menjadi teknisi kapal pengangkut ikan di laut.
Kemampuannya dalam menahan nafas ketika menyelam lama untuk membetulkan mesin kapal, boleh diuji. Setelah itu ia sempat merantau ke Kalimantan. Menjadi supir truk pengangkut batu bara dan operator alat berat pernah ia kerjakan.
Kini ia memilih untuk tinggal dan hidup di Nabire, Papua. Dari hasil keringatnya menjadi supir dengan rute Nabire – Paniai, akhirnya ia dipercaya oleh pemilik mobil untuk membeli Fortuner tsb. dengan cara mencicil.
Amir sudah menjadi bagian dari tim saya ketika bertugas di wilayah adat Mepago (Nabire-Dogiyai-Deiyai-Paniai) karena selain ia lihai menyetir, hapal tiap lubang dan tikungan, perhitungannya cermat ketika berhadapan dengan kendaraan lain di depan, memahami mesin mobil, ia juga sigap memberikan kontribusi layaknya bagian dari tim kerja kita.
Jalur/rute yang dilalui Amir, kerap melalui daerah yang bisa disebut sebagai ‘zona merah’. Tentu penghadangan di jalan, atau ancaman harta dan nyawa, sudah tidak asing bagi para supir di sana. Parang atau sajam (senjata tajam) selalu mereka simpan di balik jok mereka. Amir sendiri mengandalkan badik (senjata khas Sulawesi Selatan) di sisi kiri jok mobilnya.
Tapi badik itu bukan untuk mempertahankan dirinya dari ancaman nyawa, melainkan untuk ‘mempertahankan’ Fortunernya.
“Kalau saya tidak apa2 kalau kena pukul, tapi jangan sampai mobil ini yang kenapa-napa, oo… badik ini langsung keluar ini….” katanya sambil terkekeh.
“Di sini tinggal sama istri, Mir?” tanya saya karena melihat profil di WA-nya
“Iya.”
“Jadi, istri ada berapa?”
“Tiga. Satu di Makassar, 1 di Kalimantan, 1 di sini,” ujar lelaki yang masih suka mengirimkan uang untuk anaknya yang di Kalimantan dan Makassar.
(Erri Subakti)