Membangun Hutan Mangrove, Diplomasi Lingkungan Jokowi

Jika ingin mendengar burung berkicau, jangan beli sangkar tapi tanamlah pohon.

Jika ingin melestarikan dunia tebanglah pohon untuk menggunakan kayunya (untuk menyimpan karbonnya) bukan semen, logam, atau plastik, dan tanamlah banyak pohon lainnya.

KOLOM

OPINI

-Iklan-

 

 

 

 

Ganda Situmorang

Indonesia memasuki era dan dimensi baru diplomasi dalam Presidensial G20. Era diplomasi Hutan Mangrove.

Setelah sukses menanggulangi kebakaran hutan dan menekan laju deforestasi yang dirasakan langsung dan diakui oleh dunia, maka Presiden Jokowi melangkah maju (move on) dalam percaturan politik pemanasan global dengan mengusung diplomasi hutan mangrove.

Presiden Jokowi telah turun langsung menanam mangrove di berbagai daerah. Bahkan baru-baru Presiden Jokowi mengajak para Duta Besar negara sahabat dan kepala lembaga internasional ikut nyemplung ke hutan mangrove di Kalimantan.

Di Bali bahkan telah disiapkan khusus hutan mangrove menyambut para tamu dalam rangkaian hajatan G20.

Dalam perhelatan COP 26 Glasgow, aktor-aktor kepentingan sektor lingkungan hidup dan kehutanan ramai oleh diplomasi Presiden Jokowi melalui Menteri LHK. Ada satu frasa dari bagian utuh yang mungkin sengaja diblow up dan digoreng. Hal ini menimbulkan persepsi yang semakin bias seperti efek gelindingan bola salju.

“Pembangunan besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi.” adalah penggalan pernyataan Bu Menteri LHK dimaksud.

Sangat bagus jika di COP 26 Glasgow dicapai kesepakatan untuk mengakhiri deforestasi. Tetapi perlu dicatat juga bahwa kesepakatan apapun itu tidak boleh dengan paksaan, mestinya pada posisi setara dan sukarela.

Target deforestasi ini pun sebenarnya adalah pengalihan kesepakatan utama dari isu yang lebih nyata dan mendesak yaitu memangkas penggunaan energi fosil menjadi energi baru terbarukan. Sehingga terjadinya pengalihan kesepakatan utama ini dapat meminggirkan solusi ekonomi hijau.

Arus utama perdebatan COP 26 telah bias seolah-olah bahwa orang Indonesia menyebabkan perubahan iklim dengan menebang pohon. Ini sangat tidak etis karena negara berpenghasilan tinggilah yang menjadi penyebab utama perubahan iklim melalui penggunaan berlebihan energi fosil. Perlu koreksi pemahaman dan persepsi bahwasanya kehutanan dan Indonesia sebagai negara pemilik hutan tropis terluas adalah bagian besar dari solusi.

Jadi penulis mengajak para pihak berkepentingan di Indonesia mulai dari legislatif dan pegiat lingkungan, supaya fokus pada masalah yang sebenarnya.

Pengelolaan Hutan Lestari adalah suatu teknik pelestarian hutan. Jika ingin menyelamatkan dunia, tebanglah pohon, gunakan kayunya (menjaga karbonnya tetap), bukan semen, logam, atau plastik, dan menanam banyak pohon lainnya. Ada pohon yang memang tidak boleh disentuh, tetapi menebang pohon bukanlah penggundulan hutan dengan sendirinya. Defenisi deforestasi bukan menebang pohon!

Menempelkan cap kepada Indonesia sebagai penyebab perubahan iklim karena deforestasi sangat keliru dan tidak etis karena negara berpenghasilan tinggilah yang selama ini telah menyebabkan perubahan iklim dengan penggunaan energi fosil yang amat besar.

Memang penting untuk fokus pada cara mengurangi polusi di tingkat global dan mari kita mencari sumber penyebab yang terbesar. Pengellolaan hutan lestari (Sustainable Forest Management/SFM) akan memainkan peran penting. Maka penting untuk dipahami bahwa SFM tidak sama dengan deforestasi.

Saya gagal paham bagaimana kita bisa berbicara tentang pelepasan karbon atau hilangnya pohon ketika dunia diam terpana dan menyaksikan kebakaran hutan yang luas membakar selama berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan tanpa bereaksi secara sepihak. Saya menduga itu hanya karena memadamkan api tidak akan berkontribusi pada ekonomi Multi-Triliun Dolar yang terkait dengan lobi perubahan iklim. Berapa banyak pesawat pemadam kebakaran yang tersedia, tidak digunakan, dan berada di darat di seluruh dunia saat Australia, Eropa dan US terbakar, dan berapa banyak karbon yang dilepaskan?

Ini juga mengabaikan bahwa fakta bahwa sebagian besar deforestasi terjadi karena kemiskinan yang parah dan masyarakat yang berusaha mendapatkan semacam pemberdayaan ekonomi. Kita masih belum sampai ke sumber masalah dan komitmen menyeluruh ini tidak mungkin menangani masalah secara sistemik sehingga tidak akan membuat dampak signifikan apa pun.

Hal yang disayangkan tentang negara maju adalah bahwa pembangunan itu sendiri membutuhkan biaya tetapi sekarang mereka “menindas” negara berkembang dan terbelakang. Jadi saya bertanya-tanya apa yang mereka (negara kaya dan maju) ingin orang Indonesia (negara berkembang) lakukan?

Di Indonesia masih banyak penduduk yang hidup secara di bawah kolong langit terbuka dan makan hasil bumi mentah karena sebagian besar kayunya digunakan untuk memasak atau membangun rumah dan lalu menebang dan menanam pohon dan berkebun. Apakah mereka dengan demikian layak dicap sebagai penyebab pemanasan global?

03122021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here