Catatan Putih Gerakan Pemuda Marhaenis

Penulis: Dahono Prasetyo

Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) dalam catatan sejarah menjadi salah satu organisasi kepemudaan yang masih konsisten menggunakan nama Marhaenis. Pasang surut GPM dari tahun 1963 dalam tekanan Orde Baru, hingga eksistensinya periode terakhir tahun 1998 di bawah kepemimpinan Rahmawati Soekarnoputri membuktikan organisasi massa berbasis ideologis ini sudah mengakar kuat.

GPM bukan organisasi baru yang didirikan atas dasar kepentingan politik praktis. Menjadi satu-satunya organisasi massa yang tidak berafiliasi di partai politik mana pun.

-Iklan-

Era reformasi 98 yang sekaligus menjadi momentum terbukanya euforia partisipasi masyarakat dalam berpolitik tidak kemudian menjadikan GPM ikut latah berpolitik. Ketua Umum GPM Rahmawati Soekarnoputri yang kemudian memilih eksis di jalur politik tanpa menggunakan gerbong Marhaenis, menjadikan GPM ditidurkan dalam gempita kebebasan politik. GPM tidak mati, hanya menepi dari hingar-bingar.

Hingga di era kepemimpinan Jokowi, 20 tahun seusai reformasi tepatnya di bulan November 2018, lahirlah kesepakatan membangkitkan kembali GPM. Organisasi massa dengan ruh Nasionalis Marhaenis ini ditata ulang kaidah organisasinya oleh mereka-mereka yang peduli dan masih mencintai GPM.

Para eksponen Marhaenis berkumpul di Wisma Perdamaian Semarang Jawa Tengah pada tanggal 10 November 2018 untuk mendeklarasikan kebangkitan kembali GPM. Mereka terdiri dari Soetjipto SH, Willem M Tutuarima, JD Kuncoro, Drs Soewarno, Sri Hardjanto, Simon R Purba, Hadi Wasikoen, Ahmad Antono, dr Suwignyo, Sapto Setyono, Soenartiyono, Budi Dharmawan, Danang Suwito, Pudjo Setijono menjadi pelopor kebangkitan GPM bersama puluhan kader dan simpatisan lainnya.

Rapat forum kebangkitan GPM tersebut menghasilkan rekomendasi penting pembentukan jaringan DPD dan DPC di seluruh Indonesia. Heri Satmoko diberikan mandat oleh forum rapat kebangkitan menjadi ketua umum caretaker hingga batas waktu 1 tahun (10 November 2019) untuk menyelenggarakan Konggres GPM.

Seiring berjalannya waktu target pembentukan DPD, DPC dan jadwal Konggres tidak sesuai dengan rencana strategis organisasi. Kepengurusan DPD dan DPC yang tumpang tindih, 3 jadwal dan lokasi Konggres yang gagal dilaksanakan hingga amburadulnya keuangan organisasi melahirkan konflik internal yang massif. GPM yang seharusnya menyatukan justru menjadi sebaliknya.

Hingga akhirnya para deklarator kebangkitan GPM Wisma Perdamaian 2018 mengambil langkah strategis, berkumpul kembali dalam acara Forum Para Peserta Rapat Konsolidasi Nasional Kebangkitan GPM pada 28 Maret 2021 di Semarang. Mereka sepakat mencabut mandat ketua umum caretaker Heri Satmoko yang dinilai tidak mampu membawa perubahan struktural untuk organisasi di bawah koordinasinya. Mandat kepengurusan DPP GPM dikembalikan kepada deklarator kebangkitan yang merupakan forum demokrasi tertinggi dalam masa transisi GPM.

Deklarator Kebangkitan GPM dalam forum rapat tersebut kemudian membentuk Badan Pekerja khusus yang bertugas merealisasikan pelaksanaan Konggres untuk memilih Ketua Umum definitif. Heri Satmoko yang sudah dicabut mandat caretaker-nya kemudian memilih melanjutkan kepemimpinannya. Heri Satmoko mereformasi seluruh kesepakatan Forum Deklarasi Kebangkitan 2018, menghapus nama-nama deklarator yang tercantum dalam akta notaris, menggantinya dengan nama dan sosok baru.

GPM hasil perombakan mendasar oleh Heri Satmoko menjadi ilegal, baik secara hukum maupun historisnya. GPM yang baru saja Konggres di Bali 5 November 2021 menjadi cacat hukum, berikut susunan kepengurusan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

GPM yang ber-konggres di Bali atas dukungan dana dari para politikus pewaris Orba bukanlah GPM yang sesungguhnya.

GPM hasil forum deklarasi kebangkitan 2018 yang tetap solid menata ulang organisasi. Badan Pekerja Khusus GPM yang masih berproses merealisasikan Konggres secara legal dan bermartabat. Menjadi penjaga marwah Marhaenisme warisan abadi pemimpin besar revolusi Soekarno.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here