SintesaNews.com – Ramai diperbincangkan Angela Tanoesoedibjo, Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, yang jatuh pingsan di Keraton Solo dikabarkan karena kelelahan bekerja.
Baca: Angela Jatuh Pingsan di Keraton Solo
Hal ini bisa fatal seperti fenomena di Jepang, banyak yang sampai meninggal karena kelelahan bekerja.
Kematian akibat terlalu banyak bekerja atau Karoshi bukanlah cerita baru bagi masyarakat Jepang. Negara yang terkenal dengan julukan Negeri Sakura ini memang terkenal dengan jam kerja yang panjang.
Dari data yang dimiliki Penasihat Pertahanan Nasional untuk Korban Karoshi, diketahui bahwa hampir satu dari lima korban Karoshi terjadi pada perempuan.
Mengomentari kerasnya iklim kerja di Jepang, salah satu profesional asal Indonesia, Lutfi Bakhtiyar yang telah puluhan tahun bekerja di Jepang, memberikan kiat-kiatnya ia bisa bertahan di sana. Kini ia merupakan Market Manager Kronos International Company Ltd. Japan.
“Jadi gini ya. Namanya perusahaan pasti dituntut untuk making profit. Masalahnya, di perusahaan Jepang yang sangat kaku dan tertutup dari ide, tidak semua memiliki atasan yang cakap. Anak buah terpaksa kerja sampai mati kena karoshi. Terutama perempuan yang masih jomblo. Mereka lebih memilih kerja diforsir dan mati dibanding menanggung malu. Persaingan mendapat posisi di perusahaan juga sengit dan tidak beradab,” ujar Lutfi.
“Seorang manajer yang turun jabatan akan disiksa dan dihina-hina oleh yang baru,” tandasnya.
Kiat Bertahan Bekerja di Jepang
“Kenapa saya bisa bertahan? Saya kan basic-nya peneliti, jadi selalu memberikan sesuatu yang baru. Dari mulai planning, implementing dan evaluating semua dilakukan sendiri. Nyaris tidak ada atasan. Orang kantor juga tidak faham apa yang saya lakukan tetapi mereka percaya pasti demi perusahaan,” jelas Lutfi Bakhtiyar.
“Nah faktor shinrai atau trust ini syarat mutlak untuk bertahan. Jadi saya paling komunikasi dengan bagian keuangan. Kalau dengan CEO paling minta agar perusahaan merekrut orang buat bantuin saya. Lagi-lagi saya yang nyari, saya yang wawancara juga yang ngasih pekerjaan minimal arahan,” terangnya.
“Alhamdulillah tidak ada yang rese. Orang tahu soal kerjaan saya perfectionist dan ambisius tapi tidak nuntut soal gaji-fasilitas. Toh ada standarnya,” imbuhnya.
“Biasanya kalau ada orang yang rese maka akan diadu langsung dengan saya depan CEO. Masih ngotot, ya dibongkar laporan keuangannya, dibandingkan kinerjanya dan kinerja saya termasuk besar gaji,” ungkapnya.
“Perusahaan Jepang mengutamakan ahlak dan sportifitas. Yang melanggar ya di-kubi atau “potong leher” meski dia anak owner, minimal turun jabatannya karena dianggap membuat gaduh.”
“Pokoknya kerja di perusahaan Jepang itu gampang karena mereka bermain tim bukan individual dan taat pada garis komando,” pungkas Lutfi.