Penulis: Jingga
Dear Diary,
Rasanya dada ini masih sesak. Kisah cintaku terlalu kelam untuk diingat. Tak mampu aku menepis semua bayang-bayang luka yang tertoreh. Padahal, seluruh jaringan di otakku sudah tak mampu menahan golakan kisah yang membuatku mual. Aku sudah ratusan kali berjalan dengan kaki yang pasrah, melentur mengikuti kemana arah angin, tak menolak tak menghindar tapi tetap saja aku terseok dan patah. Seperti ada lilitan tali besar di leherku, sungguh mencekik tak mampu mendesah.
Namaku Lintang Arum, aku perempuan 45 tahun. Aku punya cerita usang yang terjadi 2 tahun yang lalu. Tapi kisah itu benar-benar menghancurkan duniaku. Cinta…, sekali lagi cinta yang menghancurkanku. Cinta di usia senja membuatku terlena dan lupa segalanya. Kekasihku masih sangat muda, dia baru berusia 25 tahun. Laki-laki gagah dengan kulit coklat terbakar matahari. Sikapnya yang selalu berusaha melindungiku membuatku nyaman bersembunyi di balik punggungnya, apa yang aku butuhkan dari sosok laki-laki dewasa semua ada pada jiwa mudanya. “Abi….” panggilan mesraku untuknya.
Abi…, aku tak tahu harus bersyukur pernah mengecap cintanya atau harus mengutuknya. Aku tak pernah berpikir untuk mengenalnya. Kami berkenalan saat aku ada di titik kering. Mengapa ku sebut titik kering? Karena lelakiku tak pernah mengerti sisi perempuanku. Yang dia tahu hanya EGO untuk ikuti semua yang dia mau, hanya EGO untuk jalani semua peraturan dan pintanya, saat aku butuhkan peluk sayangnya dia hanya laki-laki batu yang katakan tak ada waktu untukku bermanja. Saat keluhku sampai diujung lidah, dia hanya jawab tak pernah mau ikut campur dengan duniaku. Lelah yang teramat sangat itu yang membuatku goyah. Salahkah aku dengan semua perselingkuhanku?? Aahhhh…. Dimata semua orang pasti aku perempuan kotor yang tak mengerti kata kesetiaan, mengertikah mereka gersangnya jiwaku?? Mengertikah mereka bagaimana kosongnya batinku?? Aku hanya rindukan dada bidang untukku bersandar, Aku hanya butuhkan punggung tempatku bersembunyi saat dunia begitu menakutkan bagiku.
Aku mengenal Abi di sebuah fitness center di kotaku. Tatapan matanya saat itu sangat teduh. Dibalik tubuh kekarnya ada aliran sungai bening di sorot matanya. Abi laki-laki yang mencintai perempuan-perempuan berusia matang. Dia datang saat aku terpuruk dengan kisah cintaku yang dingin, sedingin boneka salju.
Singkat cerita kedekatan kami semakin intim. Kami menghabiskan banyak malam berdua. Kecupan sayang dan ucapan terima kasih setiap kali kami usai bercinta membuatku merasa menjadi perempuan yang paling berbahagia. Cinta kami tumbuh subur, kami pupuk dengan sentuhan-sentuhan sayang melalui raga dan jiwa kami.
Tak mudah memperjuangkan cinta kami. Pasti! Aku harus sembunyikan ini dari lelakiku dan anak-anakku. Sementara dia juga tak ingin keluarga dan lingkungannya tahu kalau dia sedang bercinta dengan perempuan yang layak dia panggil Tante.
Sampai suatu saat hubungan kami mulai terkuak, foto-foto mesra kami tersimpan di ponsel Abi tanpa Abi sadari terlihat mamanya. Aahh…, bunda mana yang rela melihat putra kesayangannya berbagi cinta dengan perempuan seusianya, bunda mana yang rela melepas putra kesayangannya menjadi simpanan seorang tante. Tante gatel begitu mereka menyebutku.
Serendah itukah aku? TIDAK! Aku tak serendah itu! Aku hanya perempuan senja yang rindukan dunia perempuanku, aku perempuan yang harus selalu tampil tegar di depan lelakiku. Tanpa keluh, tanpa kelembutan. Seks bukan titik yang aku kejar, hanya rasa nyaman dan hangatnya dilindungi itu yang membuatku tak ingin kehilangan sosok Abi.
“Tante Lintang, mama ingin kita bubar,” saat itu abi ucapkan kalimat itu dengan sejuta perih di setiap tarikan napasnya.
“Abi…, kalau itu yang terbaik untukmu, tante rela say…, untuk tante kebahagiaanmu itu lebih dari segalanya…, tante sayang kamu…, sangat,” jawabku berusaha tegar.
“Apa Tante ingin melihat Abi bahagia?”
“Pasti sayang…, pasti…. Jangan pernah ragukan itu.”
“Jangan tinggalkan Abi tante…, jangan tinggalkan Abi….”
Aku peluk kekasih mudaku erat di dadaku. Tangis kami pecah malam itu.
Aku tidak mengira semua terkuak saat kami ada di kedalaman cinta yang teramat gelap. Terlalu dalam. Sinar tak lagi tembus dalam ruang cinta kami. Nalar kami tak lagi mampu membedakan mana hitam dan putih, mana nilai dosa dan kebenaran, yang kami tahu hanya tak ingin saling melepaskan. Tak ingin lepas tak peduli berapa hati yang harus terluka karena cinta yang kami kecap.
Malam itu Abi setubuhi ragaku dengan gumpalan cinta yang tak terbendung, mata kami basah oleh air mata, dada kami penuh dengan rasa takut kehilangan, dia peluk ragaku, lucuti malamku dengan desah penuh bara cinta yang menyiksa. Abi…, dia gumuli ragaku dengan jamahan-jamahan penuh luka. Bara malam itu membuat kami lepas entah di alam mana. Mungkin itu yang disebut orang batas terindah di antara gradasi jingga saat senja menyelimuti bumi. Peluh kami adalah peluh cinta, desah kami adalah desah penyatuan jiwa, titik kulminasi yang kami capai adalah puncak penyatuan rasa terindah. Tanpa kami berpikir itu adalah malam terakhir bagi kami.
Seperti biasa setelah bercinta, kami harus kembali pada dunia kami masing-masing walaupun sebenarnya kami sama sekali tak menginginkan itu. Saat aku dan dia hendak meninggalkan rumah yang aku sewa khusus untuk janji temu kami. Tiba-tiba pintu depan didobrak orang. Aku segera keluar melihat siapa yang berani kasar di rumahku. Tak sempat berpikir panjang, berondongan makian dari serombongan ibu-ibu membuatku diam dan kaku ditempatku berdiri. Ada 8 orang perempuan sebaya denganku, salah satunya bunda Abi.
“Perempuan jalang! Yang kau tahu hanya menghisap tubuh laki-laki muda! Dasar pelacuuur!” Teriak bunda abi lantang.
“Dasar tante gatal! Cuuuiiihhh…. Anjing betina tak tahu malu!” teriak yang lain.
“Hai pelacur murahan, sudah berapa laki-laki muda yang hancur dalam rengkuhanmu?!”
Tak satu katapun keluar dari mulutku, ketakutan luar biasa menguasai seluruh ruang rasaku, di sisi lain aku tahu yang aku hadapi adalah perempuan yang melahirkan kekasihku. Malu, kalut tanpa mampu membela diri, aku seperti domba yang siap dibantai oleh segerombolan serigala kelaparan. Tanpa bantahan…, tanpa perlawanan.
“Anjing! Bagaimana sih, rupa tubuh busukmu?!”
“Buka paksa saja baju nya!! Telanjangi dia!!”
Semakin gemetar aku medengar niat mereka, malu… malu…. Perih sekali ulu hatiku… sementara Abi tak mampu lakukan apapun. Abi diseret keluar oleh 3 laki-laki entah siapa mereka.
“Perempuan busuuk! Kau tak lebih dari anjing !! Liurmu menuntut darah muda tanpa dosa!! Kau perusak hidup orang lain!! Dasar bangsaat!!”
Tiba-tiba 2 perempuan mendekat ke arahku, tak ada jalan untuk lari… semua ruang telah dipenuhi oleh 8 tubuh perempuan setengah baya. Aku hanya beringsut ke pojok dinding ruang tamuku. Dua perempuan itu menarik paksa gaun panjangku. Aku berusaha bertahan, tak ingin semua terlepas, aku takut, aku malu. Sampai akhirnya koyak juga kain penutup tubuhku.
“Hahahahahahaha….. lihat anjing betina itu sudah telanjang!! Hahahahhahahaa rasakan kau anjing!!”
“Buka paksa bajunya!”
“Hahahahahahaha…. Haiii…, pelacur! Bisa apa kau sekarang?!”
“Jangan mbak…, tolong jangan lakukan ini…, maaf kan aku…,” rintihku tak tahan dengan semua malu yang harus ku tanggung.
“Haiii…, enak saja mulut busukmu minta ku hentikan semuanya! Lalu di mana nuranimu saat kau rusak Abi?! Dimanaaa?!”
“Ampuuun mbak…, ampuuunn…. Kasihani aku…, kasihani aku mbak…, please….”
Aku merangkak memohon belas kasihan perempuan-perempuan murka itu. Aku bersimpuh di kaki mereka mohon belas kasihan mereka. Tapi mereka malah meludahiku. Liur mereka basahi tubuhku yang nyaris telanjang. Bahkan salah satu di antara mereka setelah meludah, tangannya menarik paksa sisa penutup tubuhku. Gusti…, aku malu…, aku malu….
“Hai anjing betina! Tak pernahkah kau berpikir bahwa yang kau hisap adalah pejantan muda yang masih lugu?! Kau perempuan tanpa hati!” teriakan itu sangat melukai hatiku, Sakiiit…, sakit sekali rasanya, hatiku terkoyak. Malu…, hancur lebur oleh siksa mereka
“Tolooong…, kasihani aku…, kasihani aku…, jangan kalian teruskan…,” pintaku lemah.
“Hai Perempuan! Nuranimu sudah mati! Nuranimu habis dengan ratusan erangan ABG!”
“Cuuiiiihhh…. Muak aku! Jijik! Muaaal!” dengan kesetanan mereka mencaciku.
“Cuiiih…, tubuhnya berbau bangkai! Tarik saja keluar biar terbakar matahari!”
Mereka menyeretku keluar dari dalam rumah kontrakanku. Aku malu…, aku sakit…, tapi tak bisa melakukan apapun.
Para tetangga berkerumun melihat tubuhku. Tapi tak satupun yang menolongku, mereka hanya bengong dan berbisik satu sama lain.
“Perempuan ini merusak putraku! Dia tiduri anakku yang masih ABG! Perempuan lacurrr!!!”
Semua sorot mata tertuju pada tubuhku.
Tak ada yang menolongku, sampai saat itu ada 3 orang perempuan mencoba berdialog dengan rombongan perempuan penuh amarah itu. Entah bagaimana cara mereka melunakkan hati perempuan-perempuan marah itu. Yang pasti mereka akhirnya mendekatiku dan menutup tubuhku dengan jarik batik. Aku dibawa ke kamar oleh mereka.
***
Kisahku sudah berlalu 2 tahun yang lalu, tapi luka bernanah dalam hatiku tak pernah kering. Salahkah aku saat aku merindukan peluk tulus seorang lelaki yang mengerti sisi wanitaku? Nistakah aku jika aku hanya rindukan duniaku yang hilang? Jalangkah aku saat aku hanya mencari hakku sebagai wanita yang merasa aman dilindungi dengan penuh cinta. Aaah…, aku hanya perempuan luka, yang harus telan semua siksa tanpa keluh. Kini aku hidup sendiri dengan luka, setelah lelakiku membuangku bak anjing kudis di pinggir jalan. Ahhh…, lelaki…, tahukah kau…, semua nistaku berawal dari beku-mu.
Cinta tak bisa hanya menjadi sebuah sumpah yang tertulis dengan titik-titik darah tanpa tindak nyata. saat tuturmu janjikan cinta maka bergeraklah, sebelum bekumu mengubah semuanya menjadi titik-titik hambar, cikal bakal sebuah bara besar yang akan menghancurkanmu atau orang yang kau cintai. Sudahkah kau berikan sebuah tindakan cinta sederhana untuk mereka yang kau sebut belahan jiwamu? Senyum lembutmu akan hangatkan jiwanya. Karena rasa dicintai tak akan terbayar oleh apapun.