EDITORIAL SintesaNews.com
Apa jadinya jika kekuasaan ditopang oleh premanisme? Sebuah gaya yang tak asing ketika keuasaan berkolaborasi dengan kelompok yang lebih mengandalkan otot warga sipil untuk melanggengkan kekuasaannya. Namun kolaborasi itu biasanya tak akan dinampakkan secara gamblang di depan publik. Menjadi rahasia umum adanya kelompok preman yang dilegalkan dalam dalam bentuk dan nama sebuah organisasi massa kerap mendapatkan kucuran dana dari pemegang kekuasaan. Entah mendapatkan hibah atau sokongan “dana operasional” lainnya.
Namun sungguh memalukan jika kolaborasi kekuasaan dan premanisme itu dipertontonkan secara gamblang dan nyata. Itulah yang terjadi kemarin di Balaikota DKI Jakarta. Kelompok-kelompok yang lebih mengandalkan otot dan atribut jawara malah difasilitasi oleh para pejabat pemprov untuk “mempertahankan” atau membela Gubernur DKI dari massa yang mendemonya karena kerugian warga Jakarta akibat kelalaian gubernur DKI dalam mengantisipasi dan menanggulangi bencana banjir 1 Januari 2020 lalu.
Kelompok massa yang sedianya akan berdemonstrasi di depan balai kota, dihalangi oleh massa “pembela gabener” dengan mengandalkan gaya petantang-petenteng bak preman pasar.
Adalah Fahira Idris, anggota DPD DKI Jakarta yang getol menggalang kelompok massa jawara untuk membela gubernur yang telah gagal dalam mewujudkan omongan-omongannya saat kampanye Pilkada DKI 2017 silam. Ocehan “air masuk ke dalam tanah sebagai sunatullah”, drainase vertikal yang absurd, konsep naturalisasi yang bahkan sama sekali tidak dikerjakannya, sampai menyetop program normalisasi sungai yang akhirnya malah menyebabkan bencana banjir di Jakarta.
Alih-alih memberikan solusi, gubernur DKI malah semakin ngawur dalam memberikan pernyataan soal “menangkap air hujan”, menampung banjir di dalam rumah dan tidak membuang air ke luar rumah, halah…! Mabok bir pletok nih orang.
Itulah ketika kapabilitas atau kemampuan dan kinerja pejabat publik hanya mengandalkan ocehan tanpa bukti konkret dan ditopang oleh kelompok-kelompok “ngototan” ditambah unsur SARA yang kuat yang merobek bingkai “Bhineka Tunggal Ika” hanya untuk meraih kekuasaan namun tak mampu memberikan pelayanan publik yang layak bagi warganya. Shame on you ‘gabener’. Shame on you Fahira.