SintesaNews.com SUMEDANG – 15 Oktober 2021, Masih segar dalam ingatan kita tentang kegiatan penggalian tambang emas diduga illegal di desa Bangbayang, Kecamatan Situraja, Kabupaten Sumedang yang diduga melibatkan seorang kepala desa.
Baca: Tambang Emas Diduga Illegal Muncul di Desa Bangbayang Sumedang, Warga Resah Takut Longsor
Namun benarkah hanya seorang kepala desa yang ‘bermain’ dalam kehadiran sebuah tambang emas yang diduga tak mengantongi izin?
Hingga berita ini diturunkan tim liputan SintesaNews.com yang sedang melakukan investigasi masih mendapati kegiatan penggalian tambang. Pemberitaan media serta keluhan warga tidak digubris, penggalian jalan terus, entah sampai kapan. Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang seolah tidak peduli dan melakukan pembiaran akan keberadaan tambang yang sudah berlangsung selama enam bulan di Desa Bangbayang ini.
Lantas benarkah ada “backing” orang kuat di balik beroperasinya tambang emas ini? Betulkah bahwa tambang emas ini adalah bagian dari penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sumedang? Mengapa harus merusak alam dan membiarkan potensi longsor semakin membesar?
Baca: Help! Pemda Jabar, Warga Desa Bangbayang, Sumedang Terisolasi Akibat Longsor
Tim liputan SintesaNews.com yang saat ini melakukan investigasi di Desa Bangbayang Kecamatan Situraja, mencoba menghubungi Camat Situraja dan Kepala Desa Bangbayang, dalam rangka mengkonfirmasi sejumlah isu termasuk salah satunya adalah kegiatan penggalian tambang yang diduga illegal.
Upaya menghubungi Camat Situraja yang nomor HP-nya kami dapatkan dari staf kecamatan dan wartawan setempat, belum mendapat respon, pesan via aplikasi Whatsapp yang statusnya sudah terkirim, hanya dibiarkan tanpa balasan .
Sementara upaya menghubungi Kepala Desa Bangbayang, Umar, melalui sambungan telepon genggam juga tidak mendapat respon. Saat dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp, umar menjawab: “Terimakasih Pak, tapi mohon maaf untuk sementara kami belum bisa memberikan statement apapun tentang hal ini. Ini masih dalam proses di internal kami sebagai pemdes.”
Tim liputan SintesaNews.com mencoba menggali informasi dari sejumlah sumber, termasuk dari sejumlah warga di wilayah Kecamatan Situraja. Suara warga ternyata seragam, keluhan warga sama: “Takut Longsor!” Mereka pun heran mengapa terjadi pembiaran oleh Kepala desa dan Camat? Sejumlah respon pun mereka sampaikan, salah satu yang merespon adalah Ujang, bukan nama sebenarnya.
‘Itu soal tambang saya udah denger, saya juga pernah lihat, apa gak takut longsor ya, kan di sini pernah berapa kali ada longsor, tapi kita orang kecil bisa apa, itu kan di lahan Pak Kuwu (Kepala Desa).”
Tidak jauh berbeda dengan Ujang, seorang warga yang identitasnya minta dirahasiakan, sebut saja Kasep, menuturkan keluh-kesahnya kepada tim liputan SintesaNews.com.
“Pak Kuwu mah yang peran di situ, dia gak pikirkan akibat ke depannya, untung buat warga apa? Kalo pun nanti ada propitnya, kok warga belum tau nya? Kalo longsor dia mau tanggung jawab apa? Dulu mah tambang pernah ada yang lapor ke polisi, tapi udahannya malah orang lain yang dituduh lapor sampe ketakutan, di desa dia malah dimarahi, padahal bukan dia yang lapor polisi, pernah dilapor polisi tapi ya gitu gak ada kelanjutan.”
Tim liputan SintesaNews.com mencoba menelurusi di sekitaran desa Bangbayang, sekaligus memotret kehidupan warga yang sebagian besar menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Namun ada yang menarik saat kami keliling desa, kami menemukan sebuah portal penutup jalan di salah satu jalan desa yang menanjak curam. Ada yang menarik dari keberadaan portal yang umurnya baru beberapa hari saja.
Menurut warga yang kami temui, portal ini dikhususkan untuk menghadang kendaraan ber-plat nomor polisi B (Jakarta), agar tidak masuk ke Desa Bangbayang. Wah ada apa ini?
“Kemarin pas ada rapat di desa, pas ada camat sama kuwu, di rumah Kuwu, mobil itu gak dikasih keluar, sengaja diportal atas arahan orang dari (kantor) desa,” demikian pengakuan seorang sumber yang kami temui di lokasi portal.
Tim liputan kami pun mencoba mencari nomor telepon pemilik mobil yang disebut warga dipersulit akses keluarnya. Setelah kami coba hubungi via telepon, sumber kami menolak berkomentar. “No comment-lah.“
Warga lain yang kami temui juga memberikan pendapatnya soal tambang emas diduga illegal
“Kalo soal tambang susah kang, gak akan ditutup itu mah. Itu ada pejabat yang di dinas, kadis (Kepala Dinas ) apa gitu yang modalin Pak Kuwu,“ kata sumber tadi. Saat kami coba menggali lebih dalam soal maksud pernyataannya tentang Kepala Dinas tadi, warga tadi enggan berkomentar lebih jauh.
Mendapat beberapa informasi tadi kami mencoba menghubungi Kepala Desa, Umar namun gagal. Nomor telepon Whatsapp tim liputan kami ternyata sudah diblokir, sehingga tidak dapat lagi berkomunikasi dengan kepala desa yang sudah menjabat tiga periode ini. Upaya menghubungi via telepon pun sudah tak dapat respon. Padahal Umar punya kesempatan untuk mengklarifikasi semua isu tadi, sayang nomor kami terlanjur diblokir.
Penelusuran kami pun berlanjut hingga kami bertemu Abay, sebut saja begitu. Menurut Abay di puncak desa ada sebuah lahan yang sudah dibangun kawasan wisata, tempat ibadah Suluk, Mushola dan sebuah bangunan semacam candi atau lingga yang sangat unik dimana kawasan ini diberi nama Pasulukan Dewi Chandrawulan.
Abay bercerita bahwa sudah beberapa minggu ini kawasan wisata ini mendadak sepi.
“Tadinya mah ada kegiatan ibadah di mushola semacam dzikir, yassinan tiap malam minggu, dan sholat berjamaah dari banyak daerah ada Jakarta juga tapi sekarang udah gak ada lagi, karena dilarang (perangkat) desa, ibadah suluk juga dilarang, lha orang suluk kan mau menuju Tuhannya, tapi dilarang sama perangkat desa, tau ya kenapa?”
Dari informasi yang kami himpun, Pasulukan Dewi ChandraWulan sendiri mulai dibangun sejak pertengahan tahun 2021 dengan bantuan swadaya dari sebuah Perkumpulan yang terpusat di Jakarta. Selama 6 bulan, para pegiat sosial asal Jakarta yang ingin membantu desa Bangbayang agar lebih tertata dan maju serta mendapat perhatian pemerintah dan masyarakat luas, maka dibangunlah peradaban di atas tanah “perawan”, yang dulu nyaris tidak seorangpun sudi atau berani datang ke lahan yang dulu disebut tanah larangan ini.
“Dulu mah angker, ABRI (TNI) aja gak berani masuk ke atas, di tanah larangan mah banyak penunggunya, pernah ada santet, teluh, angkerlah pokoknya sarang hantu. Tapi sejak orang Jakarta datang dan bangun di atas, sekarang mah jadi bagus dan jadi rame gitu ya, suasananya adem jadi seneng warga mah, eeh sekarang malah dilarang orang Jakartanya sama Pak Kuwu dan orang-orang dia,“ demikian Abay bercerita.
“Sudah ada 7 tahun kegiatan di sini, bareng orang Jakarta, ada kurban kalau lebaran haji disumbang orang Jakarta, ada sapi ada domba bisa puluhan ekor, mereka banyak sosialnya disini, tapi sekarang mah sepi, tau pada ke mana orang Jakartanya, katanya dilarang ke sini lagi.”
Dari sejumlah foto yang kami dapatkan, bangunan atau lingga yang lebih mirip Candi ini memang terbilang unik, mengingatkan kita akan peradaban tinggi di masa lalu. Konstruksinya berbahan dasar tanah dan dihiasi kaligrafi dibeberapa dinding lingga, membuat kami penasaran: siapakah arsitekturnya? Seperti apa bentuk final rancangan bangunannya jika lingga ini selesai nanti? Apa resepnya sehingga bangunan candi atau lingga ini bisa memiliki pondasi yang kokoh, padahal tidak memiliki pondasi dasar sebagaimana bangunan megah pada umumnya? Yang paling mengagumkan, terdapat sebuah Mushola di bawah lingga alias Mushola bawah tanah, dengan kolam ikan disampingnya dan tepat di atas Mushola terdapat sebuah pohon Kurma.
Dari informasi yang kami himpun, setelah pegiat sosial asal Jakarta susah payah membangun lingga dengan dana swadaya tanpa sponsor, Kepala Desa dan sejumlah warga yang terbilang ‘orang dekat’ Kepala Desa, melarang warga asal Jakarta untuk datang kembali ke lokasi ini.
“Ya tujuannya supaya diambil oleh (pemerintah) desa, makanya mereka (orang Jakarta) diusir, saya kan denger dari rapat desa, orang Jakarta mah diancam kalo mau datang ke sini, tempat suluk juga mau dirusak atau dibakar sama orang kuwu, nah itu kan tempat ibadah, kok mau dirusak,” demikian hasil wawancara kami dengan Sutis, bukan nama sebenarnya.
Ternyata selain pembiaran tambang emas illegal, ada problem lain yang belum terjawab di wilayah paling ujung sekaligus paling atas di kecamatan Situraja ini. Pelarangan warga Negara Indonesia masuk ke wilayah NKRI, negaranya sendiri, memang tergolong aneh dan langka.
Ada apa sebenarnya sehingga pemerintah desa khawatir akan kedatangan tamu dari luar desa khususnya tamu asal Ibukota? Benarkah minimnya anggaran desa menyebabkan pemerintah desa harus mencari sumber pemasukan lain, hingga desa Bangbayang harus memaksakan diri menggali tambang emas meski illegal?
Bagaimana pengelolaan dan alokasi dana desa mendekati Rp 1 milyar pertahun di desa Bangbayang, apakah sudah tepat guna bagi seluruh warga desa? Benarkah ada “beking orang kuat” di balik kehadiran tambang emas illegal, serta di manakah proses pengayakan emas ini berlangsung selama ini?
Tim investigasi SintesaNews.com menelusurinya dan jawabannya akan kami sarikan pada pemberitaan selanjutnya .
———————————–BERSAMBUNG —————————-