Penulis: Dahono Prasetyo
Perawakannya pendek namun bertubuh atletis dengan kepala setengah botak. Jangan tanya kapan bibirnya cemberut karena saat sedih maupun suka dia selalu tersenyum, tak ada beda. Lidah yang medhok menandakan dia asli orang Jawa bahkan lebih suka menyebut lemari dari pada almari.
Ende Riza lahir menjadi seniman secara otodidak, tanpa bantuan “bidan seni” hingga umurnya yang kini setengah abad mengaku punya banyak guru. Dari tukang becak, pedagang angkringan, penjaga parkir juga diakuinya sebagai guru pelajaran kehidupan.
Mengaku lulusan Universitas Kehidupan Fakultas jalanan jurusan program studi seni dan kemanusiaan, menjadi ijazah dunia akhirat yang dibawanya kemanapun dia bernafas.
“Menjalani hidup adalah kemampuan berimprovisasi, di situlah kita fleksibel menghadapi situasi yang memaksa kita tak selamanya sejalan dengan cita-cita,” begitulah kalimat filosofisnya saat ditanya bagaimana dia menjalani hidup selama ini.
Ende Riza yang menekuni dunia seni peran semenjak dirinya kuliah di Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film) di Yogyakarta. Kampus seni yang cenderung sebagai laboratorium seni daripada ruang pendidikan akademisi. Dia lebih bangga gelar seniman daripada ijazah D3 yang dikantonginya.
“Pendopo Asdrafi itu ruang kuliah praktek seni. Latihan, diskusi, pentas itu saja. Suatu saat kita akan menemukan teori sendiri,” jelasnya saat mengenang almamater tercintanya.
Ende Riza yang ekspresif, bahkan di setiap lekuk tubuhnya memilih menjadi Pantomimer. Sebuah cabang seni peran yang minim kata-kata namun bisa menyampaikan sesuatu lebih dari kata-kata. Namun jangan dikira dia tidak bisa berkata-kata seusai menghapus make-up putih di wajahnya seusai ber-pantomim.
Dialog apapun dilayaninya menunjukkan dia kenyang menelan aneka pengalaman di luar seni. Kalau boleh disebut motivator sebagian orang yang mengenalnya pasti setuju. Beberapa kali dalam sebulan dia diundang untuk mengisi acara motivasi. Baik di komunitas maupun instansi pemerintah dan swasta.
“Aku lebih suka disebut Pantomimer yang nyambi jadi motivator, karena dari Pantomime-lah aku bisa membuat orang termotivasi,” katanya saat disuruh memilih berstatus Pantomimer atau Motivator.
Dua hal berbeda pakem, pantomime dengan minim kata dan motivator yang banyak kata menyatu dalam dirinya. Teori itulah hanya Ende Riza yang berhasil menemukannya di labolatorium seni Asdrafi. Ilmu “bedah jiwa” yang dimilikinya menjadi kolaborasi sempurna dari ekspresi, kepekaan dan kecerdasan emosional.
Jangan tanya seperti apa bedah jiwa itu. Tidak mudah dijelaskan secara kata-kata maupun tulisan, suatu saat ikuti saja materi motivasinya. Sudah tak terhitung berapa karyawan, emak-emak hingga direksi yang mendadak termehek-mehek usai mengikuti sesi motivasi darinya. Jiwanya dibedah tanpa sadar, diluapkan emosionalnya lalu lahir kembali menjadi manusia yang berjiwa kemanusiaan.
Itulah sebagian catatan aktivitas dan perjalanan hidup Ende Riza yang penuh “penemuan”. Sebagian lagi belum sempat dituliskan di sini, bahkan pernah gagal dirangkum menjadi sebuah buku. Bukan karena penulis yang kebetulan dekat dengan Ende Riza, berkawan lahir batin melebihi saudara tidak mampu menuliskannya. Tetapi kita masih belum sepakat Ende Riza dalam buku akan menjadi catatan hitam putih atau serupa abu-abu.
Hingga hari ini ada satu pertanyaan penulis yang belum terjawab selama puluhan tahun. Ende Riza yang tidak pernah takut menjalani hidup apapun, berani berimprovisasi dalam situasi terburuk sekalipun. Namun masih gagal menghilangkan trauma, takut pada satu benda bernama Peniti?
Tidak usah dijawab, Riza. Karena mustahil kamu menjadi manusia yang sempurna to?
Bersambung….
Dahono Prasetyo
18/10/21