Massa kaum Marhaenis menjadi warisan abadi Soekarno dalam mendefinisikan strata sosial kemasyarakatan. Mereka sillent majority yang jumlahnya menyebar dalam pola fikir berdikari dan kemandirian. Pada perjalanan sejarah, upaya membangkitkan Marhaenisme mengalami pasang surut.
KOLOM
OPINI
Dahono Prasetyo
Wadah perjuangan organisasi berlabel Marhaen yang tak juga surut mengalami tekanan kultural orde baru, menjadi persoalan besar yang belum tuntas. Kegagalan melepaskan diri dari doktrin De-Soekarnoisasi membuat kader-kader terbaik Marhaenis memilih zona aman untuk melanjutkan benang merah sejarah.
Mereka kemudian merapat ke partai-partai politik berbasis Nasionalis yang mapan dalam lingkar kekuasaan. Celakanya sebagian kemudian lupa memelihara spirit ideologinya.
Wadah-wadah organisasi Marhaen ditinggalkan kadernya sendiri yang merapat ke lingkaran kekuasaan, usai meminjam baju Marhaen.
Selain Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) di penghujung tahun 2019 muncul satu lagi organisasi massa yang konsisten menyematkan kata Marhaenis. Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) yang dibangkitkan kembali eksistensinya oleh kader-kader senior Marhaenis.
GPM muncul kembali menjadi “nostalgia politik” dalam wadah ormas. Pembentukan kepengurusan resmi di tingkat daerah berjalan antusias. Tokoh-tokoh lama bermunculan mendukung kebangkitan kembali ajaran ideologi Soekarno yang vakum puluhan tahun.
Namun kembali ke paragraf awal, manajemen organisasi GPM tidaklah segemilang nama besar militansi pada masa kejayaannya. GPM 2019 yang dipimpin Ketua Umum Caretaker, gagal meyakinkan anggotanya untuk menjadi ormas politik berbasis ideologi yang benar benar mandiri.
Beberapa personil kepengurusan di tingkat pusat termasuk ketua umum caretaker-nya dalam kondisi: Belum selesai dengan dirinya sendiri.
Membangkitkan dan mengelola organisasi tingkat pusat dengan ribuan anggota di daerah butuh ekstra konsistensi di luar batas normal. Di saat bersamaan tuntutan urusan dapur dan dompet yang tidak mengenal ideologi, menjadi godaan terbesar sebuah perjuangan idealisme.
Keputusan pragmatis terkait situasi dilematis ini tidak bisa dihindarkan.
Bagaimana bisa sungguh-sungguh memperjuangkan Marhaen di saat beban tagihan cicilan rumah ditunggu debt collector. Bagaimana bisa berorasi politik dengan jernih di saat saldo di rekening tinggal 5 ribu perak?
Ini bukan persoalan miskin atau kaya. Ini soal stamina mental. Berorganisasi untuk mendapatkan keuntungan materi menjadi kesalahan fatal paling dramatis.
Mencari penghidupan dari berorganisasi itu juga penyakit akut para oportunis.
Menjadi Marhaen saja sudah berat, apalagi menjadi pemimpin Marhaen. Jangan pernah memaksakan diri jika sudah tidak mampu.
Marhaen dan Marhaenis butuh pemimpin yang dilahirkan, bukan diciptakan.
Dahono Prasetyo
Depok 14/10/21
Baca juga: