Penulis: Roger Paulus Silalahi
Tanggal 30 September 2021, di Renon Bali, dekat Konsulat Jenderal Amerika Serikat, sekelompok massa membawa berbagai poster asal jadi bernafaskan Papua Merdeka dicegat Pecalang, Masyarakat Bali, Patriot Garuda Nusantara, dan Aparat Kepolisian.
Entah setan apa yang merasuki mereka, nampaknya “Setan Uang”, mereka berkerumun dan berjalan menuju Konsulat Jenderal Amerika Serikat.
Bali yang sedang berjuang melepaskan diri dari keterpurukan akibat pandemi yang masih berlangsung, dicoba diganggu ketenangan dan kedamaiannya dengan aksi kotor sekelompok penyusup dari Papua yang meneriakkan “Papua Merdeka”. Bali yang sedang berjuang membangun kembali pariwisata yang merupakan hajat hidup mayoritas penduduknya, diganggu dengan ulah segelintir orang yang mengusung tuntutan Papua Merdeka.
Aparat Kepolisian terlihat sangat persuasif, mencoba menjadi pembatas antara massa Papua Merdeka dengan Masyarakat, Patriot Garuda Nusantara, dan Pecalang. Sikap persuasif ini sangat disayangkan, mengingat teriakan “Papua Merdeka” dan poster terkait yang mereka bawa tidak ditindaklanjuti secara tegas berdasarkan hukum, tidak ditangkap, hanya dibubarkan saja. Kelemahan aparat penegak hukum yang seperti ini akan jadi preseden buruk untuk berbagai aksi serupa yang mengusung perlawanan terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sebagai orang Papua, seharusnya mereka malu, memilih beraksi di tanggal keramat PKI, menunjukkan ke-komunis-an mereka. Mereka anti pemerintah, memutarbalikkan fakta, persis sebagaimana dinyatakan Pak Agum Gumelar. Mereka mencoba menunjukkan eksistensi mereka sebagai bagian dari gerakan “Tematik Komunis” yang harus diwaspadai dan dibasmi, dilawan dan dihilangkan, di manapun dan dalam bentuk apapun “Tematik Komunis” itu ditampilkan.
Sebagai orang Papua, mereka seharusnya malu, menumpang hidup di salah satu pusat kebudayaan Indonesia, tapi mengusung pemberontakan atas nilai-nilai budaya, mengabaikan segala kebaikan dan perbaikan yang telah dilakukan untuk Papua. Gerakan semacam ini pasti akan ditolak pula oleh masyarakat Papua, masyarakat yang berbudaya dan bertata krama, masyarakat yang cinta damai.
Sebagai orang Papua, mereka seharusnya malu, merendahkan bangsa Indonesia, merendahkan Orang Papua, seolah Indonesia itu buruk, seolah Papua itu terpuruk. Bukannya membantu pemerintah mendorong perkembangan di Papua, malah merusak suasana di luar Papua, rusuh.
Usut punya usut ternyata mereka menyebut diri mereka Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), yang setelah diperiksa ternyata tidak dapat menunjukkan Kartu Tanda Mahasiswa.
Model apa lagi ini…? Karena mengaku mahasiswa lalu berharap tidak ditangkap…?
Sementara ketika ditanyakan pada Ikatan Mahasiswa Papua (IMAPA), mereka tidak mengenal AMP dan tidak merasa apa yang disuarakan AMP sebagai suara Papua.
Langkah yang paling tepat yang seharusnya diambil aparat kepolisian adala menangkap semua pendemo yang mengatasnamakan AMP ini. Proses secara hukum dalam kaitan pelanggaran terhadap Perda, KUHP, bahkan UU Anti Terrorisme hingga masuk tahanan, baru setelah selesai masa penahanannya dipulangkan ke Papua. Jangan biasakan masyarakat melakukan pelanggaran tanpa tndakan tegas hukum, jangan biasakan masyarakat melakukan apa yang mereka mau tanpa paham aturan yang berlaku, dan merugikan orang lain.
Jangan biarkan terjadi lagi demonstrasi mendukung organisasi teroris apapun, apalagi demonstrasi yang bertujuan menentang konstitusi, memecah belah bangsa. Bagi yang bergabung dengan AMP atau sepemikiran dan sepemahaman dengan AMP, sebaiknya “Enyah Sebelum Dienyahkan….” Pulanglah, bergabungah dengan KKB, jangan pakai topeng kemunafikan kalian di Bali, jangan kotori Bali, jangan hidup di Bali. Tidak ada kepentingannya mereka ada di Bali bila hanya mampu merusak dan mengotori kedamaian di Bali. Pemprov Bali harus mampu menyaring yang seperti ini, Bali tidak anti dengan pendatang, tapi anti dalang kerusuhan.
Bali bangkit, OPM biar saja mati.