KPI, Antara Korban, Pelaku, dan Mantan Pelaku

Berisik sekali medsos bicara KPI, tambah lagi berbagai media berebut membahas urusan KPI. Wajarlah, pengungkapan kasus di dalam keseharian KPI dengan korban MS dicuatkan tepat setelah paedophile SJ memamerkan glorifikasi sampahnya hingga banyak orang ingin dia ditembak mati.

Baca di sini, beritanya begini, baca di situ, beritanya begitu, kacau, memang kacau, media jaman now meliput dengan kacamata liliput, etika diabaikan sudah biasa, kejar rating walau ada yang tidak bersalah dijatuhkan, juga biasa. Akhirnya toh harus selidiki sendiri, baca ini itu sendiri, telepon dan tanya ini itu sendiri, lalu analisa sendiri, simpulkan sendiri. Langkah berikutnya adalah berbagi, hasil dan pendapat diri sendiri disebar, dan dibagikan sebagai opini yang berdasar pada pendalaman materi terkait kasus yang diselidiki.

KOLOM

-Iklan-

OPINI

Roger P. Silalahi

Jadi, berdasarkan hasil kasak kusuk tanpa blusak blusuk, dicapailah beberapa hal terkait urusan SJ dan juga urusan MS. Saya pilah dalam 2 bagian ya, supaya tidak campur aduk sebagaimana banyak media mencampuradukkan kedua urusan ini sementara koneksitasnya sebenarnya hanya ada di tema kejahatannya.

——————-

Bagian 1 = SJ

Urusan pesakitan SJ, saya sebut pesakitan karena memang paedophile itu masuk ke dalam kategori “sakit jiwa”, walau drivernya sangat bisa dikendalikan, dan memang seharusnya dikendalikan. Sebagai seorang berusia cukup dewasa, walau sekolahnya tidak ada sekalipun, SJ dapat dikatakan tidak pakai otak, tidak merasa bersalah, dan tidak punya hati. Tindakan yang dia lakukan menunjukkan bahwa dia tidak belajar dari kasusnya dan tidak menyesali tindakannya, bahkan tidak malu atas keseluruhannya.

Sidik punya sidik, menurut sumber di KPI yang saya hubungi, ternyata Pak Agung Suprio sebagai Ketua KPI pun geram dengan kelakuan SJ ini, dan karenanya mengeluarkan pernyataan khusus terkait SJ. Sayang, media lebih suka untuk mencari sensasi daripada memberitakan apa adanya tanpa menambahkan interpretasi lain atau bahkan sengaja hanya mengangkat interpretasi lain dari pernyataan Pak Agung Suprio.

“Click Bait” ternyata masih lebih seksi dibandingkan etika atau edukasi atas kebenaran pernyataan dan interpretasinya. Alih-alih meluruskan berita, malah bola salju yang menggelinding. Entah karena ketidaksiapan dalam mengatur kata atau memang kena jebakan pertanyaan, Pak Agung Suprio jadi terkesan memberi peluang pada SJ, bahkan dengan ditambahkan pelintiran media, SJ sempat diisukan akan menjadi semacam “Duta” untuk KPI. Parah kalau seperti ini.

Saya coba menghubungi beberapa orang terkait yang kebetulan ada di daftar kontak saya, saya ajak bicara dan tanyakan, akhirnya saya yakin pada kesimpulan bahwa SJ itu sebenarny di-“black list”, tidak boleh tampil di tv, tidak boleh diangkat pernyataannya ke media, kecuali sebagai “Pelaku Kejahatan Seksual”, sebagai “Contoh Buruk” bagi masyarakat.

Hmmm, saya melihatnya sebagai jebakan batman, masa iya SJ mau diwawancara sebagai penjahat kelamin, sebagai contoh buruk, ya ini sih sebenarnya sama saja dengan tidak boleh tampil.

Sedikit pertanyaan saya, kenapa Pak Agung Suprio tidak secara gamblang bilang SJ tidak boleh diwawancarai, tidak boleh diliput, tidak boleh ditayangkan segala sesuatu mengenai dirinya kecuali mengenai kematiannya…? Mungkin Pak Agung Suprio ini terlalu menjaga etika, sehingga pernyataan paling kerasnya hanya sampai pada “Kita kesampingkan urusan HAM dalam kasus SJ…” yang maksudnya adalah mengesampingkan HAM-nya SJ, tapi sekali lagi dipelintir menjadi menghapuskan HAM korban SJ. Media kadang memang keterlaluan.

Untuk Pak Agung Suprio, saran saya, sampaikan saja “press release” terkait SJ ini dengan pointers yang jelas, keras, dan tegas, dan jangan beri peluang untuk media bermain dengan “click bait” atau memelintir pernyataan verbal yang disampaikan. Lanjut terus Pak Agung Suprio, semoga kuat menghadapi serangan dari luar dan dalam terkait kasus SJ. Buktikan ketegasan dan kemampuan mengambil langkah tegas, bila perlu keras pun akan baik hasilnya.

———————

Bagian 2 = MS

Sejak keluarnya release dari MS dengan mengungkap 7 orang pelaku perundungan dan pelecehan seksual terhadapnya keluar, netijen ramai membahas dan menyerang KPI. Bagaimana tidak, release tersebut keluar tepat setelah keluarnya SJ dari penjara. Bengkak KPI digampar kiri kanan atas bawah depan belakang, ada bagusnya, banyak perbaikan harus dilakukan.

MS nampaknya mendapatkan dukungan yang cukup kuat dari berbagai pihak, kasusnya mencuat ke atas dan jadi perhatian banyak orang. Detail kasus terjelaskan dan tergambarkan dengan sangat jelas dari release MS sebagai korban, sungguh menyentak dan membuat banyak sekali orang marah, muntab, dan muntah. Tidak tergambarkan kepedihan korban MS menjalani hari demi hari sebagai sasaran “bully” di KPI, tapi dia bertahan hingga saat yang tepat (menurut dia) untuk mengungkapkan keseluruhannya.

Jika benar seperti yang diceritakan MS, kasus ini menunjukkan seberapa munafiknya para pelaku itu, kerja sebagai “penjaga” moral, tapi kelakuan lebih dari sekedar amoral. Saya pribadi yakin cerita MS sepenuhnya benar. Lampu sorot saya langsung terarah ke KPI dan orang-orang yang terlibat dan bertanggungjawab, tidak terkecuali Pak Agung Suprio sebagai Ketua KPI Pusat.

Media meliput kasus, sebagian berperilaku sama, seolah berusaha menjatuhkan KPI, terlebih selama ini sering sekali ada kejanggalan yang terjadi terkait kiprah KPI sebagai pemegang kendali kontrol penyiaran di Indonesia. Apes buat Pak Agung Suprio sebagai Ketua KPI yang baru menjabat tepat sebelum pandemi ini.

Dari sumber di KPI, saya mendapat informasi awal yang cukup melegakan, dimana ternyata KPI lumayan bergerak cepat dengan menyarankan agar MS meminta bantuan pendampingan hukum dari Kominfo, menyediakan “counseling” gratis untuk MS, dalam menghadapi trauma yang dialaminya. Bukan cuma itu, para pelaku dirumahkan dan tidak diperkenankan bekerja di kantor dan hanya menerima gaji pokoknya saja, ini katanya adalah perintah langsung dari Pak Agung Suprio.

Dari sini saya harus mengakui bahwa ternyata saya salah tangkap tentang langkah yang diambil KPI, dari media terkesan melindungi pelaku, ternyata tidak.

Pendampingan dengan menggunakan pengacara Rony Hutahaean, bukan dari Kominfo mungkin adalah pilihan MS, mungkin juga saran dari pihak lain, yang penting pelaporan masuk, dan pendampingan berjalan untuk MS.

Kasus bergulir keras, update di media juga cukup banyak terkait kasus ini, salah satu yang menggelitik adalah berita di Kompas 7 September 2021 yang secara gamblang menunjuk hidung Sekretariat KPI atas nama Bapak Umri yang mengundang MS untuk hadir tanpa didampingi pengacaranya. Lampu sorot saya langsung ke arah Sekretariat.

Ketua KPI bisa berganti-ganti, tapi Sekretariat memang hidup dan berkarier di sana, merekalah yang membidangi kepegawaian di KPI.

Sekretariat pastilah mengenal pegawai satu persatu, tahu dan punya penilaian akan pribadi lepas pribadi, dan juga sangat mungkin punya kedekatan pribadi dengan beberapa orang, sementara MS yang “orang rendahan” dari release-nya sudah jelas tidak mendapat porsi perhatian dari Sekretariat. Di Kompas, Pak Umri mengakui hal tersebut dan berkilah dengan bahasa “Kalau bawa pengacara saya kesannya bermasalah nanti dengan dia (MS)…”, saya hafal aroma seperti ini.

Sekretariat mau mendamaikan, terbukti ada disodorkan surat pernyataan yang jahat dan ditolak ditandatangani MS. Maka pertanyaan saya adalah; “Sekretariat ini tidak mengerti apa yang telah terjadi, atau menganggap ini sama dengan perselisihan berebut tempat parkir, atau memang mencoba melindungi para pelaku…?”

Wah, semakin jelas ini, yang harus disoroti adalah posisi yang tidak berganti, merekalah yang punya peluang mendukung pelaku. Pelaku, pemain, pastilah orang yang tidak bergerak, “orang asli”-nya, yang sudah kenal lama dan kenal dekat. Sayang tidak banyak data terkait Sekretariat yang saya berhasil kumpulkan sampai saat ini. Menurut saya Ketua KPI harus menutup diri dari “orang asli” agar bisa objektif menindaklanjuti kasus ini.

Dalam diskusi dengan beberapa rekan, sempat tersampaikan kekesalan kepada Pak Agung Suprio sebagai Ketua KPI, dan ini wajar, karena banyak pihak ingin ketegasan yang “cold blooded”, saya pun demikian.

Tapi dalam diskusi itu saya mencoba menempatkan diri sebagai Pak Agung Suprio, dan menyertakan segala informasi yang saya terima ke dalamnya, dan hasilnya yang saya katakan pada rekan-rekan saya itu adalah; “Kalau saya jadi Ketua KPI mungkin saya akan hantam kromo, tapi kalau lihat tipe Pak Agung Suprio, kayaknya model yang ingin melangkah dengan pasti, tapi tidak mau ada riak yang tidak perlu dari gerakannya…”.

Saya rasa, Ketua KPI itu sedang serba salah, berada di antara serigala, tapi dalam jangkauan jarak tembak pemburu, sehingga dia harus menunjukkan pada pemburu bahwa dia bukan serigala agar tidak ditembak, dan di saat yang sama harus memastikan bahwa dia tidak dimangsa serigala di sekitarnya.

Apapun, saya berharap proses kasus MS dapat segera digulirkan, semua pelaku dipecat dan dipenjarakan, dan selanjutnya dilakukan pendalaman dari kasus sejenis di KPI, saya yakin, bukan hanya MS korban di KPI, dan bukan hanya 7 orang itu pelaku pelecehan seksual dan bullying di KPI.

Kerja keras, kerja tegas, kerja cepat Pak Agung Suprio, buang segala sungkan, tabrak, sekaranglah saatnya menegakkan kebenaran di KPI dan mereformasi keseluruhan KPI agar menjadi lembaga yang kredible dan berguna bagi kemajuan dalam segala hal terkait penyiaran di Indonesia.

-Roger Paulus Silalahi-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here