Jika ingin sejenak “mengintip” konstelasi politik 2024 lihatlah yang terjadi di DPRD DKI. Tujuh fraksi dari 8 Parpol yang kompak menolak interpelasi secara tidak sengaja membuka tabir kemana arah dukungan mereka.
KOLOM
OPINI
Dahono Prasetyo
Bukan tentang dukungan prematur yang katanya politik itu cair bisa dinamis mengalir kemanapun, tetapi parlemen dalam kendali Gubernur yang berambisi nyapres tidak bisa dilihat apa yang terjadi hari ini saja.
Fraksi Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, NasDem, Golkar, dan Fraksi PKB-PPP menggagalkan upaya PDI-P dan PSI untuk upaya menyalurkan aspirasi warga yang sudah geram pada gubernurnya sendiri. Akan berbeda “sinetron” politisnya jika hak interpelasi lolos di parlemen yang kemudian dijawab Gubernurnya. Apapun jawabannya rakyat lebih legowo menerimanya.
Ketakutan pada proses demokrasi di parlemen mengisyaratkan ada yang tidak beres dengan demokrasi itu sendiri.
Sisi lain dari kegagalan hak interpelasi adalah terbentuknya kubangan politik menjadi 2 kubu. Bisa jadi PDI-P dan PSI yang berinisiatif sudah paham peta kekuatan sesungguhnya di parlemen DKI bukan berada di partai dengan jumlah kursi terbanyak. Premis momen jamuan makan malam di rumah Gubernur DKI bisa diartikan “deklarasi” dukungan.
Sengkarut pengelolaan Pemda DKI tidak hanya tentang balapan Viks Formula 44, pelega pileg demam anggaran. Deretan dugaan sim salabim anggara lain memanjang dari Balai Kota hingga patung kuda. Semua butuh/berpotensi di-interpelasi (jika ada niatan). Dan sang Gubernur cukup cerdik dengan menggagalkan satu hak interpelasi untuk membangun benteng penahan hak-hak lainnya.
Bagi 7 fraksi yang hadir pada dinner malam itu sudah pasti akan “ketagihan” dengan gaya santuy Gubernur. Kelak ada hak lain muncul, tinggal menunggu undangan Gubernur sekaligus ketua Formula E (singkatan: Forum Komunikasi Laskar E-money).
Bayangkan betapa besar cost politik mengamankan kursi DKI 1 hingga Oktober 2022 di akhir masa jabatannya. Mempertahankan DKI 1 menjadi satu paket mengamankan sosok capres 2024 yang paling sexy diperebutkan.
Selanjutnya kita bisa menikmati akrobat politik Gubernur berinisial AB (penulis agak alergi menulis Anies). Dimulai dari blusukan ke klenteng yang cukup mencengangkan logika pendukung seiman di belakangnya. Sebelumnya safari ke Jawa Tengah hanya untuk order beras warganya lumayan jumpalitan diterima akal sehat. Sumbar, Aceh, Makasar dan Papua masuk daftar tunggu kunjungan Gubernur AB (penulis agak alergi lagi menulis Anies) sekedar untuk kerja sama transaksi rempah-rempah untuk warga DKI atau impor souvenir.
Gubernur sudah meringankan kerja Menteri Perdagangan dan Menteri Pertanian dengan alibi kerja sama regional. Namun bagi yang paham politik, AB sedang mencuri start di kantong-kantong strategis suara dukungan 2024.
Analoginya serupa topeng monyet keliling tidak tidak butuh pentas di tengah keramaian. Hanya butuh tempat strategis untuk mengundang dan menciptakan “keramaian”. Maka dari segala penjuru menengok atraksi hingga kegaduhan yang sengaja diciptakan.
Tiba-tiba seorang penulis senior mengirim pesan: Mas, sampeyan jangan sering-sering nulis tentang AB, nanti dia makin populer dan kuat. Memang itulah strategi yang dilakukannya.
Saya jawab: Nggak papa mas, saya ibarat sedang menjajakan buah busuk. Kalau ada yang mau beli pasti busuk juga dia.
Dahono Prasetyo
Depok 9/9/21