Penulis: Roger P. Silalahi
#Bagian Pertama (dari dua)
“Wewe Gombel atau juga disebut Nenek Gombel adalah sebuah istilah dalam tradisi Jawa yang berarti roh jahat atau hantu yang suka menculik anak-anak, tetapi tidak mencelakainya. Konon anak yang diculik biasanya anak-anak yang ditelantarkan dan diabaikan oleh orang tuanya”.
Saiful Jamil bebas, keluar penjara dengan selebrasi layaknya orang gila yang tidak mengerti bahwa hukum manusia tidak seberapa dibandingkan hukum Tuhan. Berdiri tegak tanpa malu dengan kalung bunga yang sebenarnya lebih pantas diletakkan di makamnya.
Waduh, keras sekali pernyataannya Pak…
Mungkin terlalu keras untuk kalangan umum yang tidak secara khusus mendalami masalah kejahatan seksual terhadap anak. Mungkin bahkan Saiful Jamil sendiri tidak tahu seberapa besar data jumlah kejahatan seksual terhadap anak, jumlah korbannya, dan berapa kali lipat jumlah sebenarnya, karena data yang ada tidak mengungkap kondisi yang sebenarnya, hanya “the tip of the iceberg” (puncak gunung es, red.).
Setiap kejadian yang terungkap selalu merupakan saat yang tepat untuk mengangkat kepedulian dan kewaspadaan serta harapan terkait kasus kejahatan seksual terhadap anak.
Terima kasih kepada Saiful Jamil yang dengan kebodohannya telah menjadi “trigger” (pemicu, red.) bagi pengangkatan dan pembahasan issue kejahatan seksual terhadap anak. Terima kasih juga kepada siapapun yang tidak memberikan tempat bagi paedophile untuk mengambil keuntungan dalam bentuk apapun, baik menampilkan diri, mempromosikan usaha, atau mencari keuntungan dalam bentuk apapun di Indonesia.
Kepedulian terhadap segala aspek terkait paedophile ini sangat penting dan harus diangkat terus hingga Pemerintah mau benar-benar berbuat untuk anak Indonesia.
Stop…!!!
Jangan bilang kita punya KPAI, jangan bilang kita punya P2TP2A, jangan bilang ada Unit PPA di setiap Polres, apalagi berkata ada banyak yayasan yang peduli, jangan. Terlalu gagah kalau saya bilang semuanya tidak berfungsi, terlalu kasar kalau saya bilang semuanya tak mampu, maka baiklah saya katakan “Indonesia Butuh Yang Lebih Kuat Dari Yang Sudah Ada”.
Kenapa…? Karena memang demikian kondisinya. Semua lembaga yang penuh dengan birokrasi dan “show off” dalam penanganan kasus yang terlanjur naik di media, melakukannya hanya sekedar agar terlihat seolah peduli dan bekerja.
Mau marah, silahkan, tapi mari buka data, bukti yang ada lebih dari cukup untuk menunjukkan bahwa negara hanya buang uang tanpa hasil dengan mengasuh dan men-support lembaga minim guna yang ada, korban terus berjatuhan.
Kita ambil data yang ditampilkan di situs resmi ECPAT (END CHILD PROSTITUTION, CHILD PORNOGRAPHY & TRAFFICKING OF CHILDREN FOR SEXUAL PURPOSES).
Dimana berdasarkan penelitian yang dilakukan UNICEF, pada tahun 2007 saja diperkirakan 100.000 anak dan perempuan di Indonesia diperdagangkan untuk tujuan seksual setiap tahunnya.
Temuan mereka juga menyebutkan 30% dari perempuan yang bekerja untuk pelacuran di Indonesia berusia di bawah 18 tahun.
Dengan perkiraan 40.000 hingga 70.000 anak Indonesia menjadi korban eksploitasi seksual komersial setiap tahun.
Setiap tahun angka kejahatan ini meningkat, karena langkah yang diambil tidak tepat.
Bongkar data ILO, tahun 2019, hanya 132 kasus dan hanya 104 tuntutan terhadap kejahatan terkait “Child Trafficking”. Bandingkan data-data lain yang ada, lalu katakan pendapat anda, apakah masalah kejahatan terhadap anak sudah tertangani dengan baik…?
Sebagai seorang Kriminolog yang peduli dan memperhatikan masalah kejahatan, saya katakan bahwa keseluruhan kejahatan terkait “Child Pornography”, “Child Trafficking”, dan “Human Trafficking” berlindung di bawah Mafia Narkoba.
Jaringan yang digunakan adalah jaringan narkoba, dengan “pengamanan” dari jaringan narkoba, dan dengan kesadisan yang sama dengan jaringan narkoba.
Menghadapi ini, tidak bisa dengan KPAI, P2TP2A, atau lembaga lain yang berisi birokrat sepersepuluh peduli yang penting dapat makan. Bahkan Kementerian PPPA hanya mampu bicara sampai di titik; “Ini kejahatan serius…”, tapi tidak ada follow up sama sekali.
Apakah para birokrat tidak tahu apa yang terjadi pada anak yang hilang…? Tahu…!
Sebagian akan dijajakan sebagai pemuas seks, kaum paedophile, makin muda semakin baik.
Rentang usia yang diperdagangkan untuk pemuas seks adalah 0 sampai 18 tahun, dengan mayoritas berusia antara 8-12 tahun, laki-laki atau perempuan sama saja.
Sebagian akan dijual organ tubuhnya, bagus kalau masih dibiarkan hidup, berarti dirawat lalu dioperasi, ini biasanya dilakukan pada anak dengan rentang usia 3-8 tahun. Cukup diambil satu ginjalnya lalu dipotong lidahnya agar tidak bisa menceritakan apa yang dialaminya, lalu lempar ke mafia pengemis dunia.
Jangan heran kalau bertemu pengemis anak di negara lain yang ternyata setelah diusut berasal dari Jawa atau Sumatera.
Kalau organ yang dijual ternyata adalah jantung atau hati…? Masuk freezer, kirim ke Cina, jadi pakan.
Maaf kalau saya bicara gamblang seperti ini, tapi ini relitanya, video terkait pun ada, sampi muntah saya melihatnya.
Mau bukti, silahkan cari di Daerah Singaraja dan Karang Asem (Bali), Gunung Kidul (Yogyakarta), Garut (Jawa Barat), Toba Samosir (Sumatra Utara), Bukit Tinggi (Sumatra Barat), Lombok (Nusa Tenggara Barat), Kefamenanu (Nusa Tenggara Timur), Jakarta Barat serta Pulau Seribu (DKI Jakarta).
Ayo KPAI, lakukan riset mendalam, beberkan data yang ada, jangan dikecilkan datanya hanya demi lolos standar ILO atau UNICEF. Politik tidak ada urusannya dengan kejahatan terhadap anak, jangan diam.
Tidak ada riset yang di-release ke publik setiap tahunnya yang dibuat lembaga apapun yang seharusnya peduli pada anak terkait sebenarnya berapa jumlah kasus kejahatan terhadap anak di Indonesia.
Ada berapa kasus anak hilang, berapa laki-laki dan berapa perempuan, berapa kasus paedophile yang dilaporkan, berapa yang diungkap, berapa kasus ekspolitasi seksual terhadap anak yang terjadi, berapa yang terungkap. Dari yang terungkap, berapa yang masuk pengadilan, berapa yang dihukum dibawah 15 tahun penjara, berapa yang sudah bebas, dll.
Apakah semua kasus paedophile dilaporkan…? Banyak yang selesai dengan korban dikawinkan dengan orang yang lebih pantas jadi kakeknya, banyak yang selesai dengan bahasa “ganti rugi” pakai uang. Apakah semua penculikan anak dilaporkan…?
Jawabannya, Tidak.
Budaya takut lapor masih kuat. Lapor pun kalau di desa pasti paling hebat hanya sampai ke Kepala Desa. Lalu seluruh desa mencari, tidak ketemu, lalu semua bilang; “Sabar ya, nanti kita tanya “orang pintar”, dan jawaban akhir adalah; “Anakmu Dibawa Wewe Gombel…”.
Mau sampai kapan hal seperti ini dibiarkan…???
Langkah tegas dan keras harus diambil pemerintah dalam menunjukkan kepedulian terhadap kejahatan anak, keseluruhannya harus mendapatkan perlindungan yang kuat dan serius dari pemerintah.
Langkah apa, bagaimana…? Akan saya bahas pada bagian kedua, sambil menunggu pembelaan dari para birokrat (yang katanya) peduli tentang masalah anak, mengenai ocehan yang memiliki back up data yang saya sampaikan.
-Roger Paulus Silalahi-
Baca selanjutnya:
Kejahatan pada Anak adalah Kejahatan Luar Biasa Bukan Dibawa Wewe Gombel (Bag. 2)