Penulis: Erika Ebener
Pertanyaan di atas sebenarnya menggelitik saya sejak munculnya kasus karikatur Nabi Muhammad SAW di Perancis. Saat itu seluruh umat Islam se-dunia memprotes pemerintahan Perancis untuk menghukum si pembuat karikatur, namun Pemerintah Perancis tak menanggapinya. Karena Hukum Negara Perancis telah menggariskan bahwa kebebasan berpendapat dilindungi oleh Undang-undang.
Begitu pula dengan kasus Salman Rusdi yang menulis buku “Ayat-ayat Setan”, yang dituntut dan dikejar pemerintah Iran, Ayatollah Khomeini untuk dibunuh karena telah menghina kitab suci umat Islam, sampai hari ini, Salman Rusdi tinggal di Inggris dan dilindungi oleh Negara Inggris.
Lalu kemudian saya membandingkan kedua kasus di atas, dengan kasus kebebasan berpendapat di Indonesia. Sebut saja 2 kasus yang menimpa Ahok dengan pidatonya yang “menyenggol” salah satu ayat Al Qur’an, dan kasus Melianna yang protes atas suara adzan di dekat rumahnya. Baik Ahok maupun Melianna, keduanya harus mendekam di penjara. Padahal apa yang dilakukan oleh Ahok dan Melianna adalah mengungkapkan pendapatnya tentang fakta yang ada yang mereka alami sendiri.
Walaupun uraian pada paragraph kesatu dan kedua, sama-sama membicarakan tentang kebebasan berpendapat, tetapi perilaku hukum terhadap semua kejadian tersebut di atas sangat bertolak belakang.
Negara Perancis dan Inggris menyikapi hukum perlindungan kebebasan berpendapat adalah dengan cara melindungi si pemilik pendapat. Sementara yang mendengar, membaca dan melihat atau disingkat dengan kata “Pemirsa”, mereka diberi pilihan: Jika tidak suka dan terganggu, jangan dibaca, dilihat atau didengar. Jika mereka tetap membaca, melihat dan mendengar, jangan tersinggung, jangan merasa tidak suka, apalagi merasa terganggu.
Sementara di Indonesia, sikap hukum melindungi kebebasan berpendapat justru sebaliknya, yaitu melindungi kelompok “Pemirsa”. Kebebasan Ahok dan Melianna untuk mengungkapkan pendapatnya, walaupun didukung bukti dan fakta, tetap tak terlindungi. Mekanisme Hukum kita lebih menitik beratkan pada dampak yang terjadi di masyarakat, jika kebebasan berpendapat itu menimbulkan kegaduhan nasional, maka si pemilik pendapat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Karenanya, Ahok dan Melianna pun mendekam di penjara.
Bagaimana pula dengan kasus Prita yang dijerat UU ITE Pasal 27 ayat (3) oleh RS OMNI Internasional karena dituduh telah mencemarkan nama baik? Selama lima tahun, nasib Prita Mulyasari terombang-ambing bak di lautan hukum tanpa tepi. Setelah lama di tengah samudera hukum, akhirnya Prita berlabuh di pelabuhan kebebasan. Mahkamah Agung (MA) dalam putusan pamungkasnya menyatakan Prita sama sekali tidak bersalah mencemarkan nama baik RS Omni Internasional, Tangerang.
Kasus yang menimpa Prita Mulyasari sekarang sedang menimpa saya. Saya dilaporkan oleh sebuah Yayasan internasional di Yogyakarta dengan tuduhan telah mencemarkan nama baik mereka. Pihak Kepolisian sudah dengan baik hati menginisiatifi restorative justice, namun pihak Yayasan bersikeras laporan polisi mereka atas saya harus tetap diproses.
Ya tidak apa-apa. Pada restorative justice itupun, pihak saya menyatakan, jika pihak Pelapor tetap pada pendirian ingin laporan polisi ini diproses, kita akan hadapi, karena pada dasarnya, posisi saya sama dengan posisi Prita Mulyasari saat itu. Saya ataupun Prita, menuliskan perbuatan “mereka” bukan dengan maksud dan tujuan untuk mencemarkan nama baik, tetapi kami sedang melakukan pengungkapan fakta, menyampaikan informasi pada khalayak umum agar berhati-hati dan tidak dirugikan seperti yang kami alami. Karena pada dasarnya, apa yang diungkapkan memiliki data, bukti dan fakta, bukan sedang menulis sebuah kebohongan. Jika apa yang dituliskan dianggap bohong atau tidak benar, maka “mereka” harus menunjukkan bukti atas apa yang mereka anggap bohong tadi.
UUD 1945 Pasal 28F menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Kebebasan yang termaktub di dalam Pasal 28F ini dibatasi oleh Pasal 28J yang berbunyi (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Merujuk dari UUD 1945 Pasal di atas, pihak-pihak yang dipandang sudah tidak menghormati ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat, ditambah tidak memperlihatkan hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, apakah tindakan “mereka”, yang sudah jelas merugikan, masih harus dilindungi dengan mengatas namakan “pencemaran nama baik”? Atas keputusan MA yang memutus bebas pada Prita bisa diterjemahkan sebagai implementasi yang tepat dari Pasal 28 dari UUD 1945.
Dari uraian di atas, kita Kembali pada judul tulisan “Benarkah UUD 1945 Pasal 28F Melindungi Pendapat Warga Negara Indonesia?” Maka jawabannya, YA UUD 1945 PASAL 28F terbukti mampu melindungi kebebasan berpendapat Warga Negara Indonesia. Permasalahannya… jaminan perlindungan atas kebebasan berpendapat itu tidak jatuh dari langit, tetapi harus diperjuangkan. Karena hak hukum dari pihak yang disentuh oleh pendapat kita pun dilindungi oleh undang-undang.
Jadi, kalau kita mau beropini yang isi opininya menjurus ketuduhan, pilihannya hanya ada 2, yang keduanya memiliki resiko yang berbeda : Pertama, tidak menyebutkan nama dan identitas pihak yang kita maksudkan di dalam tulisan. Resiko dari pilihan ini adalah tuduhan “mengarang bebas” akan berbalik pada si penulis. Kedua, kita menyebutkan nama dan identitas pihak yang dimaksud, dengan keyakinan kita benar-benar sudah memiliki data, bukti dan fakta atas perbuatan yang mereka lakukan yang akan kita tuliskan. Resikonya, kita harus menghadapi penyangkalan dari pihak mereka di ranah pidana, seperti yang Prita dan saya alami.