Catatan Pinggiran: Novel dkk. Berhentilah Bikin Onar

Penulis: Ganda Situmorang

MK telah memutuskan bahwa tes wawasan kebangsaan (TWK) bagi pegawai KPK adalah sah dan konstitusional. TWK tidak bertentangan dengan pasal 28D UUD 1945.

Memang 51 orang pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sudah dinonaktifkan oleh pimpinan kolektif kolegial KPK sejak bulan Mei 2021. Namun publik mencatat bahwa sejak bocoran hasil TWK beredar hingga sidang MK terkait TWK, Novel Baswedan dkk. telah membuat rangkaian keonaran baik di dalam maupun di luar KPK.

-Iklan-

Tidak percuma memang Genk Taliban cabang KPK ini selama belasan tahun bercokol di markas KPK gedung Merah Putih kawasan Kuningan Persada Jakarta Selatan. Komisioner KPK boleh saja silih berganti datang dan pergi menduduki tampuk pimpinan lembaga KPK, namun ternyata Novel Baswedan dkk. tetap kokoh menguasai pos-pos strategis terutama di kedeputian penindakan di KPK.

Konon saking lamanya, mereka membentuk jaringan dan menguasai institusi di dalam institusi yang faktanya pernah sangat powerful melebihi pimpinan KPK.

Apa itu? Wadah Pekerja (WP) KPK. WP ini bisa melakukan banyak hal, termasuk melawan keputusan pimpinan KPK, memanfaatkan semua fasilitas negara di dalam gedung KPK untuk kepentingan kelompok mereka.

Disamping lembaga super power, WP KPK, Novel Baswedan dkk. juga membangun jejaring yang saling membutuhkan (simbiosys mutualism) dengan lembaga-lembaga non pemerintah dan media secara ekslusif.

Jangan harap dengan mudah masuk ke dalam lingkaran jejaring KPK – LSM – Media (KLM) tanpa sokongan orang dalam. Alhasil dengan mudah sekali bisa dipetakan jejaring KLM ini dengan sebutan 5L; Lu Lagi Lu Lagi Loh?

Masih segar dalam ingatan, beredar luas photo dokumentasi kegiatan jejaring KLM ketika ribut-ribut demo penolakan Revisi UU penguatan KPK, di situ WP menjadikan gedung KPK ibarat markas pergerakan LSM anti pemerintah. Ironis memang.

Dalam hal penindakan kasus korupsi, sejatinya selama ini pimpinan kolektif kolegial KPK tersebut ibaratnya hanya tukang stempel belaka. Rimba birokrasi alur penindakan, benaran dikuasai Genk Novel Baswedan dkk. Mulai dari pengaduan, lidik, sidik, penuntutan, dan gelar OTT. Sungguh sebuah adi kuasa penegakan hukum jika seseorang dan kelompoknya bercokol di situ selama belasan tahun.

Publik tentu layak bertanya apakah selama ini kasus-kasus korupsi yang ditangani oleh Novel Baswedan dkk. sudah sesuai prosedur baku (SOP). Jika memang sudah sesuai SOP bagaimana pengawasan terhadap potensi penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan (conflict of interest) selama ini? Bagaimana mereka memilah dan menetapkan satu kasus dari sekian ratus kasus mulai dari penyelidikan hingga penuntutan? Apakah ada dokumen SOP? Jikalau ada apakah sudah tercatat di sistem KPK dan bisa diakses oleh publik minimal pihak yang berkepentingan? Lantas yang selalu memancing tanda tanya publik; apakah memang sudah ada pedoman baku penyusunan penuntutan di KPK?

Ada potensi moral hazard yang sangat serius di situ hingga bisa terjadi seseorang dikenakan status TSK selama tahunan bahkan sampai ada yang meninggal setelah menyandang status TSK bertahun-tahun.

Hal inilah yang sebenarnya menjadi fokus penguatan sistem baik pada tataran kelembagaan dan tata kelola di KPK yang menjadi tujuan UU penguatan KPK.

Jadi terjawab sudah kenapa UU penguatan KPK secara lembaga dan tata kelola mendapatkan reaksi penolakan yang sangat keras dari jejaring KLM gerombolan Novel Baswedan dkk.

Kepentingan kelompok mereka terancam hangus.

Kepada Novel Baswedan dkk; Berhentilah bikin onar!

Salam Pancasila 🇮🇩
1 September 2021
TTD
Ganda Situmorang

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here