Penulis: Dahono Prasetyo
Dua tempat duduk di samping kiriku masih kosong, barangkali penumpangnya masih antri berderet di jalan masuk kabin pesawat. Berdesakan di pesawat kelas ekonomi, antara meletakkan kopor di bagasi atas dan masuk di sela kursi sempit antar penumpang. Aku sendiri asik melihat pemandangan dari jendela di sampingku.
Perjalanan dari Jakarta menuju kota Solo siang ini tidak ada yang luar biasa, kecuali mendadak mulutku bengong saat seorang wanita paruh baya duduk di sampingku. Di sebelahnya seorang perempuan muda berpenampilan militer menemaninya.
“Ibu Iriana mau ke Solo ya?” tanyaku konyol setelah memastikan sosok di sebelahku adalah istri Jokowi. Dadaku berdegup layaknya usai joging.
“Iya dik, mau nengok saudara yang barusan nikahin anaknya,” jawab wanita itu ramah sambil tersenyum.
“Oo… Lagi ndak sama Pakdhe ya Bu?”
“Ya kalau Bapak sudah ndak ada waktu untuk acara seperti ini. Apalagi sekarang sedang ada masa pandemi.” jawabannya membuatku manggut-manggut kikuk. Nafas mulai teratur, ganti posisi dudukku yang tak jenak.
Duduk bersebelahan di pesawat kelas ekonomi dengan seorang Ibu Negara sebuah keberuntungan yang luar biasa.
“Kalau boleh tanya, Pakdhe itu staminanya luar biasa pergi ke sana ke mari, rapat, sampai blusukan. Jamunya apa sih biar tetep fit dan sehat Bu?” tanyaku memberanikan diri pada kesempatan langka ini.
“Ah Bapak sih kalau diam saja malah badannya pegel-pegel. Maunya bergerak terus, jalan ke mana saja yang dia mau,” jawabnya polos.
“Lha kan tugas negara sudah sedemikian padat masih sempet-sempetnya keliling. Hari ini rapat, besok sudah di Kalimantan, trus tiba-tiba lusa sudah di Medan.”
“Ya begitulah, Dik. Bapak dari dulu waktu hiburannya cuma kepengin ketemu sama orang sebanyak mungkin, sesering mungkin. Berada di tempat ramai ngobrol apa saja sambil mencari inspirasi,” lanjut wanita santun di sebelahku tanpa merasa terganggu.
Meski berkaca mata hitam, aku sadar pengawal di sebelahnya sedang menatapku menyelidik waspada.
“Jadi tidak selamanya orang-orang yang ingin bertemu Pakdhe, tapi Pakdhe pun juga ingin bertemu masyarakat di sela waktu yang ada,” aku berusaha menyimpulkan pembicaraan spontan kami yang serba kebetulan ini.
“Bapak itu selalu merasa masih banyak orang-orang yang belum sempat dia kunjungi. Melihat realita negara tidak hanya dari cerita laporan satu pihak. Pokoknya serba ingin tahu hal-hal kecil langsung dari masyarakat,” begitulah sosok sederhana itu ikut menyimpulkan.
Benar juga, bahwa hari ini apapun yang sedang terjadi akan menjadi kenangan untuk hari esok. Begitulah seterusnya.
Foto-foto selfie dengan Pakdhe, bagi-bagi sepedanya Pakdhe atau blusukannya orang nomer satu di negeri ini, suatu saat akan jadi kenangan.
Kesederhanaan menyelesaikan hal rumit, kebijakan yang menggugah banyak pihak hingga ketulusan Pakdhe membalas lambaian tangan siapa saja ada waktunya berakhir ketika beliau kembali menjadi orang biasa kelak.
Para pembenci Pakdhe akan kehilangan daya fitnahnya. Kaum cebong kehilangan pekerjaan membela Jokowi. Dan Jokowi menjadi catatan sejarah pahit manis yang mustahil terulang.
Lamunanku tentang Pakdhe dan Bu Iriana mendadak buyar ketika seorang pramugari menyebut namaku. Dan semakin buyar saat kulihat wajahnya mirip istriku. Ibu Iriana di sebelahku senyum-senyum melihat bengongku.
“Eh…, sejak kapan kamu jadi pramugari, bukannya tadi pagi sudah berangkat kantor?” tanyaku heran karena yakin itu istriku kenapa nyambi jadi pramugari.
“Pramugari odhong-odhong? Sudah jam 7 lewat tuh. Anak anak beliin sarapan nasi uduk di depan sono?” jawab pramugari itu.
Wajah aku usap, mata aku kucek. Ibu negara di sebelahku sekejap berubah jadi guling. Istriku berkerut jidat di ujung ranjang
Ah… Bangun kesiangan lagi..
Depok 28/08/2021