Ibu Nunih, Udang Minggir dan ‘Burespang’

Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi

Seberapa Indonesia Kamu…?

Oktober 1993 adalah masa awal hidup sendiri, melepaskan diri dari support orang tua, demi kekeraskepalaan dan kesombongan yang maksimal. Saya tinggal di Gang H. Mahali, 1 Gang setelah Gang Kober. Sebuah rumah kost di sisi kiri kira-kira 30 meter dari Masjid Al-Khoirotul Islam, ada kost 4 kamar, per bulan 125.000, alamatnya Jl. H. Mahali Rt 004/04 no. 04  Kel. Pondok Cina Kec. Beji-Depok. Pemilik kost adalah Bapak H. Abdulgani dan Ibu Nunih, sepasang suami istri dengan 10 orang anak, Nuhadi (Adi), Dimahwati (Dimah), Nurdin (Didin), Maryanah (Pipit), Juwarsih (Warsih), Samsuri (Bore), Surya Cahyadi (Surya), Iman Budiman (Iman), Desi Sagita (Desi), dan si bungsu Yuda Darmawan (Yuda). Saya tinggal di kamar nomor 1, tepat di samping warung indomie.

Waktu itu saya mencari kerja kiri kanan atas bawah depan belakang tidak dapat, hingga akhirnya saya memilih mengamen sebagai sarana menghasilkan uang. Biasanya saya mengamen di Pasar Kaget Blok M, CSW, Perempatan Mabes, atau di emperan melawai dekat KFC. Kalau mau ngamen ke Bulungan agak ribet, terlalu banyak pengamen di sana. Setiap hari selesai kuliah sekitar jam 3 sore saya pulang ke kost, ambil gitar, kadang bawa tiker kalau mau ngemper di Melawai, pakai topi rimba punya Iwan (Baca: Sobat) dan bawa botol buat tempat duit, kalau tidak ya bawa gitar saja dan ngamen di Pasar Kaget atau di lampu merah.

-Iklan-

Pendapatan dari ngamen itu dahsyat sekali, dari jam 4-5 sore sampai malam sekitar jam 12-2 pagi, saya bisa mendapatkan Rp89.000 (highest record). Tapi itu hanya satu kali kejadian, rata-rata hanya Rp15.000-an, atau paling apes ya dapat 600 rupiah (lowest record).

Setelah dipotong ongkos dan makan malam, bersih biasanya saya kantongi sekitar 5.000, tapi kalau lagi apes ya terpaksa irit ongkos, nunggu pagi, biar bisa bayar Metro Mini Rp100 bermodal kartu mahasiswa. Kalau irit ongkos, maka tidurnya di emperan melawai, atau di tumpukan meja bekas warung tenda bareng sama supir bajaj.

Alhasil saat bayaran semester tiba, saya terpaksa menunda bayar kost. Waktu itu kejadiannya sudah ngutang kost 2 bulan, buat bayar semesteran pun tidak cukup, waktu itu satu semester Rp250.000.

Setelah dapat pinjaman Rp50.000 dari Ahmad Zubair anak FT, saya bayar semesteran. Lapor sama Ibu Nunih; “Saya ngutang dulu ya Ibu, belum ada uang…”, Ibu Nunih senyum; “Kagak ngapa Joy, Ibu pan lihat Joy kerja, usaha saban hari…”, tenang hati ini.

Lewat 4 bulan total ngutang kost, lapor lagi, dijawab “Lha emang Ibu ada nagih apa…?”, bersyukur punya Ibu kost semacam Ibu Nunih. Di masa ngutang 4 bulan (ngutang terlama), setiap saya pulang ke kost ambil gitar, Ibu selalu menanyakan apa saya sudah makan atau belum, biasanya saya jawab; Gampang Bu, nanti makan mah kalau sudah ngamen…”. Berikutnya selalu Ibu suruh saya makan dulu, seadanya; “Tapi selesai makan cuci piringnya ya, kalau nggak nanti Warsih ngomel…”.

Ya iya lah, sudah numpang makan kalau tidak cuci piring ya keterlaluan.

Bulan ke-5 akhirnya dapat uang, bayar lunas kost Rp500.000 + Rp125.000 untuk bulan berjalan (Maret 1994). Selanjutnya keuangan lancar, ngamen bagus, sudah punya fans juga yang suka ngasih duit Rp10.000 atau Rp20.000, para Guest Companion Restaurant Jepang yang kalau lihat saya di Lampu Merah Mabes langsung pada teriak; “Buleee, nih gua ada duit buat lu…”.

Saya nyanyi tidak sampai satu lagu, dan Rp10-20 ribu ada di tangan, bisa makan, bisa pulang. Mungkin ada yang menganggap pekerjaan mereka “buruk”, (saat itu disebut  ‘burespang’: bubaran restoran Jepang, red.) tapi setidaknya mereka tahu berbagi, paham kesusahan orang lain, dan tidak merendahkan orang lain.

Kembali ke kost Ibu Nunih. Kebaikan di kost ini memanjakan saya, merasa punya keluarga kedua, beda suku, beda agama, tapi yang namanya kasih sayang selalu luar biasa. Apapun yang anak Ibu makan, anak kost pasti kebagian.

Satu cerita lucu soal ini tidak mungkin saya lupakan, selalu tertawa ingat kejadian ini, luhurnya niat mengharukan, hasil dari niat lucu tak terbantahkan, tidak mungkin terlupakan. Bapak dan Ibu serta semua anak-anaknya memperlakukan anak kost seperti saudara, seperti anak sendiri.

Di suatu sore, sekitar jam 3, hari Sabtu, belum berangkat ngamen, duduk di teras depan kost bersama Mas Gatot, Mas Eddy, ngobrol ngaler ngidul. Ibu Nunih keluar bawa sepiring bakwan udang, menyuguhkannya pada kita; “Nih, timbang bengong…”, anak kost memang selalu kelaparan, hajar, enak banget, habis, tapi anak kost tidak pernah ada puasnya. Saya berkata; “Bu, tumben bikin bakwan udang, sering-sering ngapah…”, lalu Ibu Nunih bercerita bahwa itu hanya kebetulan saja, anaknya Samsuri habis ngambil “Udang Minggir” di sungai dekat rumah.

Saya bertanya, “Udang Minggir…?”. Ibu Nunih menjelaskan bahwa beberapa waktu sekali, kalau pabrik di Raya Bogor pada buang limbah, udang-udang akan menepi ke pinggiran sungai. Saya tanya, itu menepi dalam kondisi hidup atau mati (saya was-was).

Dan jawabannya; “Hidup Joy, cuma mabok aja sama limbah…”. Tidak lama kemudian kita yang ngobrol di teras maupun Ba’ir yang belajar di kamar tapi kebagian juga udang minggir pada gatal-gatal badannya, bentol seluruh badan, fixed, keracunan berjamaah.

Hari itu, kita semua kegatalan dan tertawa menikmati gatalnya badan dan adegan garuk-garuk semua orang.

Tidak terlalu lama, saya dapat kerja, berbagai macam kerjaan, pindah-pindah kerja, dan pindah-pindah kost juga, terakhir kost di Sitompul seberang Wijaya Motor.

Akhirnya saya lulus, katanya namanya jadi sarjana, dan siap-siap wisuda. Wisuda digelar, meriah, menyenangkan. Langkah pertama saya setelah semua prosesi selesai adalah berangkat ke kost Pak Gani dan Ibu Nunih, cium tangan, mengucapkan terima kasih untuk semua kebaikan Bapak, Ibu, dan seluruh keluarga.

Saya minta berfoto sama Ibu dan Bapak, cepat Bapak masuk ke dalam, keluar sudah pakai Peci dan Batik, Ibu keluar sudah rapih lengkap dengan kerudung putih, dan anggota keluarga ramai-ramai nimbrung foto bersama. Ada banyak foto bersama dengan satu persatu anggota keluarga, tapi cukuplah 3 saya tampilkan bersama tulisan ini. Bapak, Ibu, Bang Adi, dan seluruh keluarga saya di Depok.

Dalam kesederhanaan hidup, kesederhanaan pemikiran, tanpa kepandaian akademis, tanpa gelar S1 atau S Teler, Ibu Nunih memberikan banyak pelajaran mengenai toleransi, mengasihi sesama, berbagi kebahagiaan, empati, ringan tangan menolong sesama umat manusia. Yang seperti ini yang saya sebut orang Indonesia.

Ibu Nunih, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini merupakam seri tulisan dari “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca tulisan lainnya:

Memberi dalam Kekurangan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here