Penulis: Roger “Joy” P. Silalahi
Seberapa Indonesia Kamu…?
#Bagian Ketiga (dari tiga)
“Saya berharap tulisan yang saya buat dalam 3 bagian ini dapat tersampaikan ke Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang saya banggakan, dengan tujuan agar dapat diberikan penghargaan atas jasa seorang dokter yang terabaikan segala perjuangannya, kepahlawanannya, jasanya, dan perbuatan baiknya untuk Indonesia.”
Ada banyak cerita saya dapatkan terkait dr. Angsar, ada cerita yang lucu kalau dibayangkan terjadi pada saat ini, cerita bioskop.
Pada tahun 1970-an, Bali mulai mengenal yang disebut bioskop, dan “Nonton Bioskop” jadi salah satu hiburan favorit. Demikianlah hiburan ini dimanfaatkan pula oleh dr. Angsar sebagai sarana hiburan bersama Sribanoen istrinya.
Saya ingat waktu kecil biasanya film itu ada semacam “istirahat”-nya, mengganti rol film pertama dengan rol film kedua, 1 roll film cukup untuk pemutaran film selama 1 jam kira-kira. Demikian pula masa itu, pasti ada pergantian rol film, tapi cerita dari sumber saya ini lain alasannya.
Diceritakan bahwa bukan satu hal yang mengherankan bila di tengah pemutaran film tiba-tiba film diberhentikan, kadang baru mulai, kadang sudah mau habis, tapi bukan untuk mengganti roll film. Penghentian dilakukan untuk memajang tulisan; “dr. Angsar ditunggu di rumah sakit…”, lalu dr. Angsar dan Sribanoen akan beranjak dari kursinya keluar gedung bioskop.
“Saya kadang kasihan sama dr. Angsar itu…” kata sumber cerita ini yang menceritakannya sambil tertawa. Bagi saya, yang terbayang adalah kelelahan, tidak ada libur, pengabdian, tapi itu memang konsekuensi menjadi dokter, terlebih pada masa itu.
Musik menjadi kegemaran beliau, piringan hitam yang dimilikinya lumayan banyak, mulai dari musik klasik, jazz, sampai Beatles dimiliki dan digemarinya.
Photography adalah hobi yang digeluti, ini terlihat dari foto yang saya sertakan di tulisan ini, sebuah kamera di tangan kirinya saat peresmian asrama perawat RS Sanglah.
Lukisan adalah hal lain yang digemari dr. Angsar, maka tidak heran kalau beliau bersahabat juga dengan Adrien-Jean Le Mayeur, Antonio Blanco, Affandi, Rudolf Bonnet, dan banyak lagi. Beberapa lukisan karya pelukis-pelukis ternama ini pun menjadi koleksi beliau, dan sebagian besar koleksi beliau kabarnya masih disimpan keluarga sebagai kenang-kenangan.
Saya bersyukur melakukan riset kecil terkait dr. Angsar ini, banyak sekali hal positif yang dilakukannya, banyak pelajaran, banyak makna yang tersirat dari kisah hidup beliau ini.
Kiprah beliau yang terbesar walau tidak pernah dicatatkan tetap tergambar dalam runutan waktu, tempat, dan posisi beliau. Sangat jelas bagaimana kiprah ini dilakukan beliau dengan terencana dan sangat rapih.
Kiprah yang dimulai dengan duduk minum teh sambil berbincang menemani Presiden Soekarno. Hubungan yang erat dengan Presiden Soekarno ini membuka peluang bagi dr. Angsar menceritakan kebutuhan masyarakat Bali akan adanya rumah sakit tambahan, karena masa itu hanya ada RSAD Sudirman dan RS Wangaya.
Saat itu, selain sebagai Tim Dokter Kepresidenan dan dokter tentara di RSAD, dr. Angsar juga menjabat sebagai Kepala RS Wangaya (1 Juli 1951 sampai 12 Maret 1959).
Tidak ada dokter yang lebih dekat dengan Presiden Soekarno saat itu, maka ketika Presiden Soekarno memerintahkan dibangunnya RS Sanglah, jelas sudah siapa pemrakarsanya.
Pembangunan berjalan 3 tahun lamanya, belum ada alat berat, segala komunikasi dan koordinasi masih serba sulit, sampai akhirnya Rumah Sakit Sanglah selesai dibangun pada tahun 1959.
Kenyataan bahwa dr. Angsar mundur dari posisi sebagai Kepala Rumah Sakit Wangaya pada 12 Maret 1959, dan peresmian Rumah Sakit Sanglah pada 30 Desember 1959 menunjukkan jeda waktu yang cukup untuk persiapan pembukaan dan peresmian Rumah Sakit Sanglah, mengingat pengalamannya sebagai Kepala Rumah sakit, keahlian, dan kepiawaian yang dimiliki dr. Angsar selain sebagai dokter.
Akhirnya Rumah Sakit Sanglah rampung dan diresmikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 30 Desember 1959, dengan dr. Muhammad Angsar Kartakusuma sebagai Kepala Rumah Sakit Sanglah yang pertama. Kapasitas tampung 150 tempat tidur, masa itu lumayan dahsyat, karena Rumah Sakit lain hanya memiliki kapasitas sekitar 30 tempat tidur.
Rumah Sakit Sanglah berdiri tegak sampai sekarang dengan nama Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah.
Terjawab sudah keingintahuan saya terkait nama RS Sanglah, dan yang tersisa sekarang adalah harapan. Harapan bahwa jasa dr. Muhammad Angsar Kartakusuma dapat dihargai oleh bangsa dan negara Indonesia, walau saya yakin bahwa beliau tidak akan pernah menuntut penghargaan atas apapun, terlebih melihat kesederhanaan yang selalu tergambar dari setiap cerita orang terkait beliau. Tapi…
Sesungguhnya kita sebagai bangsa Indonesia yang butuh memberikan penghargaan pada beliau yang luar biasa jasanya tapi belum pernah “dilayakkan” atas segala hal baik yang pernah dilakukannya. Presiden Soekarno pernah mengingatkan kita; “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya…”.
Saya berharap, nama dr. Muhammad Angsar Kartakusuma dapat diabadikan menggantikan nama “Sanglah”, yang secara pasti akan menunjukkan pada bangsa Indonesia dan dunia tentang perwujudan toleransi dalam keragaman dan kedamaian di Indonesia.
Seorang pendatang dari Cirebon berkiprah luar biasa besar untuk masyarakat Bali, tanpa melihat suku, agama, dan ras yang ada di dalamnya, maka selayaknya, masyarakat Bali mengabadikannya sebagai wujud terima kasih atas jasa beliau, tanpa melihat suku, agama dan ras sang pahlawan. Kita butuh menunjukkan ke-Indonesia-an kita.
Indonesia, Bali, kita, butuh menunjukkan penghormatan dan penghargaan pada pahlawan dan kepahlawanannya.
dr. Angsar, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini merupakan bagian dari seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca tulisan sebelumnya:
dr. Angsar, Dokter Pejuang yang Setia Pada Sumpahnya sebagai Dokter