Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Seberapa Indonesia Kamu…?
#Bagian Kedua (dari tiga)
————————-
Saya berharap tulisan yang saya buat dalam 3 bagian ini dapat tersampaikan ke Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang saya banggakan, dengan tujuan agar dapat diberikan penghargaan atas jasa seorang dokter yang terabaikan segala perjuangannya, kepahlawanannya, jasanya, dan perbuatan baiknya untuk Indonesia.
————————-
Kurang dari sepekan setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno memanggil I Gusti Ketut Pudja yang saat itu memegang jabatan Gubernur Sunda Kecil (Sunda Kecil atau Lesser Sunda adalah provinsi yang menaungi Bali, Lombok, dan Nusa Tenggara), dan menjelaskan perihal perlu dibentuknya Komite Nasional Indonesia di tingkat provinsi yang akan dilanjutkan dengan pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat.
Presiden Soekarno memberi mandat Pada Gubernur Sunda Kecil untuk membentuk Komite Nasional Indonesia di Sunda Kecil. Maka berangkatlah I Gusti Ketut Pudja kembali ke Sunda Kecil dan membentuk Komite Nasional Indonesia di sana yang beranggotakan 17 orang, dimana 8 orang perwakilan Swapraja ada di dalamnya. Lalu dibentuklah badan pekerja, yakni Ida Bagus Putra Manuaba, I Gusti Bagus Oka, dan dr. Muhammad Angsar Kartakusuma.
Badan pekerja ini mengemban beberapa fungsi, yakni:
- Memberitakan kemerdekaan Indonesia ke seluruh pelosok Sunda Kecil
- Berkoordinasi dan meminta kesediaan Raja-raja Swapraja untuk menggabungkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
- Menjadi jalur komunikasi dan koordinasi dengan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP terbentuk tanggal 29 Agustus 1945)
- Maka berkelilinglah dr. Angsar ke semua kerajaan di area Sunda Kecil, misi berhasil, semua Raja Swapraja menyambut gembira kemerdekaan Indonesia, dan menyatakan menggabungkan kerajaannya sebagai bagian dari Indonesia.
Ini menerangkan pada saya info dari beberapa sumber yang menyatakan bahwa dr. Angsar bersahabat dengan Raja-raja di Bali. Ini juga menerangkan bagaimana dr. Angsar bisa bersahabat dengan dr. AA Djelantik (ayah dari AA Bulan Trisna Djelantik), mantan Gubernur Bali I Gusti Putu Martha, dan sederet nama besar lain sampai akhir hayatnya.
Usai merdeka, tidak aman, ada berbagai hal terjadi pada bangsa ini. Agresi militer Belanda (I dan II), pemberontakan PKI Madiun, dan letupan-letupan kecil di berbagai daerah. Hal ini memaksa pemuda pejuang dan semua stakeholder dari kemerdekaan Indonesia belum bisa beristirahat. Perang berlanjut, koordinasi berjalan terus, dan dr. Angsar terlibat kuat di dalam berbagai peristiwa sejarah itu demi mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Tahun 1950, kehidupan mulai tenang, berbagai peluang untuk berkiprah di pemerintahan menghampiri, tapi dr. Angsar menunjukkan kesetiaannya pada sumpahnya sebagai dokter. Sejak saat itu dr. Angsar kembali berpraktek sebagai dokter saja, tidak lagi turut campur dalam urusan negara, urusannya adalah menolong orang yang sakit.
Dalam rangka meningkatkan keahliannya, dr. Angsar mendalami ilmu bedah pada dr. KRT Saleh Mangoendiningrat yang adalah kerabat dari Sribanoen istrinya. Jadilah dr. Angsar ahli bedah. Tercatat nama dr. Angsar sebagai pendiri dari Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) bersama dr. Heyder bin Heyder.
Beruntung saya menemukan literatur yang menerangkan hal ini, membantu saya menyusuri lebih banyak lagi. Selain karena bertugas sebagai dokter tentara di RSAD Sudirman, kepintaran dan keahliannya sebagai dokter, ditambah track record perjuangan dan pengorbanan yang dilakukannya sebelum dan sesudah Indonesia merdeka menjadi penyebab utama ditunjuknya dr. Angsar sebagai Tim Dokter Kepresidenan oleh Presiden Soekarno.
Keseharian dr. Angsar tetap di rumah sakit, mengobati, mengajarkan administrasi, hingga beliau ditunjuk menjadi Kepala RS Wangaya, walau tetap bertugas sebagai dokter RSAD Sudirman di Denpasar.
Kehidupan mulai berjalan mulus dan tenang, rutinitas sebagai dokter menyibukkan dan melarutkan dr. Angsar dalam panggilan kemanusiaannya.
Setiap Presiden Soekarno datang ke Bali, dr. Angsar harus mendampingi, sakit tidak sakit tetap harus ada untuk Presiden Soekarno, yang kadang memanggilnya hanya untuk menemani beliau bertukar pikiran. Saat seperti inilah yang dijadikan “peluang” oleh dr. Angsar untuk membantu meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat Bali. Tapi cerita ini saya simpan untuk bagian ketiga. Saya masih ingin bercerita tentang kiprah kedokterannya.
Sebagai dokter, kehidupan perlahan menjadi semakin baik, semakin hari semakin baik. Tinggal di jalan Suli (di depan Bank Indonesia), kemudian menjual rumah itu yang kemudian dijadikan rumah dinas Kepala BI, pindah ke jalan Surapati di depan SMP 1, sebelah Gereja, dekat lapangan puputan, depan Pura Jagatnatha, dekat Kodam. Membangun apotek di samping rumahnya, laku luar biasa karena memang dr. Angsar dikenal “bertangan dingin” dan pasiennya sangat banyak.
Orang tua asli Bali mantan pasiennya bilang; “Sakit apapun pasti sembuh sama dr. Angsar…”. Berlebihan, tapi kira-kira begitulah beliau dikenal sebagai penyembuh. Yang mengherankan adalah, apotek yang dibangunnya itu akhirnya bangkrut. Usut punya usut, ternyata obat di apotek itu lebih banyak yang gratis daripada yang dijual.
Suatu kewajaran apabila dokter tidak mampu berdagang, hatinya yang baik itu terlalu lemah, tidak mampu meminta bayaran pada rakyat yang masa itu rata-rata memang tidak mampu. Tapi Tuhan memang baik, kedermawanan dr. Angsar didukung oleh Sribanoen istrinya. Dukungan bukan saja berupa pengertian, tapi juga dalam pendidikan anak-anaknya, karena tugas sebagai dokter menyita banyak sekali waktu, pagi siang malam.
Rumah jalan Surapati dijual dan berubah menjadi Bank Mandiri, dr. Angsar pindah ke jalan Hayam Wuruk (sekarang sudah jadi kantor Radar Bali). Sribanoen yang pandai mengolah keuangan membuat akhirnya dr. Angsar punya 2 rumah. Rumah berikutnya dibeli di jalan yang sama berdekatan, di samping Konsulat Amerika yang sekarang sudah jadi kantor juga. Di rumah inilah dr. Angsar hidup sampai akhir hayatnya, meninggal dengan tenang karena usia yang memang sudah lanjut di Rumah Sakit Sanglah pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1987, dan dimakamkan di “Kampung Jawa” di Pemakaman Muslim Wanasari Maruti 13.
Besok saya ceritakan bagian paling penting dari diciptakannya dr. Muhammad Angsar Kartakusuma oleh Tuhan Yang Maha Esa. Bagian dimana kelayakan beliau sebagai manusia, sebagai dokter, sebagai pejuang, sebagai pahlawan, tidak tergoyahkan.
Setia pada sumpahnya, berkiprah untuk kebaikan banyak orang, memanfaatkan apa yang dimilikinya untuk kebaikan banyak orang. Pandai bergaul, tidak haus akan jabatan, dan segudang lagi nilai yang dipegang dr. Angsar membuat saya pribadi dan banyak orang kagum. Orang Sunda untuk Orang Bali, Orang Sunda untuk Indonesia, Orang Indonesia untuk Bangsa dan Negara.
dr. Angsar, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Keterangan foto:
Sribanoen (berkebaya di sebelah Presiden Soekarno) berfoto bersama istri Gubernur I Gusti Putu Martha (sebelah Sribanoen), istri dokter yang lain, termasuk sahabat Sribanoen, istri dokter Jerman (paling kanan), saat kunjungan Presiden soekarno ke RS. Sanglah.
Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca seri tulisan lainnya:
dr. M. Angsar Kartakusuma, Dokter Pejuang Asal Cirebon Pendiri RSUP Sanglah di Bali