Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Seberapa Indonesia Kamu…?
#Bagian Pertama (dari tiga)
————————-
Saya berharap tulisan yang saya buat dalam 3 bagian ini dapat tersampaikan ke Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan Presiden Republik Indonesia yang saya banggakan, dengan tujuan agar dapat diberikan penghargaan atas jasa seorang dokter yang terabaikan segala perjuangannya, kepahlawanannya, jasanya, dan perbuatan baiknya untuk Indonesia.
————————-
Saya menginjakkan kaki untuk menetap di Bali pada tanggal 22 Juni 2006 jam 21:15 WITA, dengan tujuan bekerja, mencari kehidupan yang lebih tenang dan damai, lepas dari hiruk-pikuk hidup kusut kota Jakarta. Saya mendapatkan lebih dari sekedar kedamaian untuk saya di Bali, udara segar, masyarakat yang ramah, pantai di mana-mana, indah dengan nuansa budaya di hampir setiap sudut yang saya lewati setiap hari.
Pada 3 bulan pertama, saya hanya tahu kerja, tempat yang saya kunjungi hanya kantor dan tempat kost saja. Tapi tidak terlalu lama saya dirodi pekerjaan, saya mendapatkan kehidupan yang semakin menyenangkan, seiring dengan beban pekerjaan yang menurun, setelah Bulgari Hotel & Resorts tempat saya bekerja resmi dibuka. Saya mulai punya waktu mengeksplor Bali dengan begitu banyak pantai, tempat nongrong yang sepi sampai yang hingar bingar, Ubud atau Karangasem, Singaraja atau Tabanan, semua indah dan sangat layak untuk dinikmati.
Tapi, dasarnya saya memang sering disebut oleh teman-teman saya sebagai orang yang aneh, perhatian saya tertuju pada rumah sakit umum terbesar dan terlengkap di Bali, Rumah Sakit Umum Pusat, Sanglah.
Apa yang menarik…?
Begini, dari 13 RSUP yang ada di Indonesia, hanya 2 yang tidak menggunakan nama Pahlawan, yakni RSUP Persahabatan dan RSUP Sanglah.
Saya memikirkan hal ini dan akhirnya tertantang untuk mulai mencari tahu sejarah rumah sakit Sanglah, kapan didirikan, siapa yang mendirikan, berapa lama pembangunannya, dan sampailah saya pada data-data awal berikut.
RSUP Sanglah mulai dibangun pada tahun 1956, dan kemudian diresmikan oleh Presiden Soekarno pada 30 Desember 1959, dengan kapasitas daya tampung sebanyak 150 tempat tidur. Siapa yang membangunnya, siapa pemrakarsanya…? Saya sampai pada nama seorang dokter dari suku Sunda, dr. Muhammad Angsar Kartakusuma.
Siapa dia…?
Ternyata, dr. Muhammad Angsar Kartakusuma adalah pemuda Cirebon yang lahir pada tanggal 25 November 1909, tapi di ijazah kedokterannya yang tersimpan di Museum Pendidikan Kedokteran Universitas Airlangga, tercantum kelahiran beliau tanggal 25 November tahun 1912.
Beliau adalah putra dari salah satu Asisten Wedana di Cirebon yang pada saat berusia 18 tahun, tercatat tahun 1930 mulai kuliah di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) sekolah kedokteran di Surabaya yang didirikan oleh Belanda untuk orang pribumi, dengan dosen atau staf pengajar kebanyakan adalah dokter-dokter militer Belanda.
Setelah lulus, dr. Angsar yang dikenal sebagai seorang Muslim yang taat dan tidak pernah meninggalkan sholat 5 waktu ini bertemu dengan gadis Jawa yang kemudian dinikahinya, nama istri beliau ini belum berhasil saya dapatkan.
Sebagai seorang dokter beliau bisa memilih bekerja untuk pemerintah dan hidup wajar tanpa beban yang berarti, tapi dr. Angsar memilih cara lain, yakni bekerja sebagai dokter, sekaligus menggabungkan diri dengan pemuda pejuang, dan menjadi jalur koordinasi antar pemuda pejuang di berbagai kota tempatnya bertugas. Tercatat dr. Angsar pernah bertugas di berbagai kota, pertama di Bandung, lalu Denpasar, Solo, Purwodadi, Cirebon, Makasar, sampai akhirnya kembali lagi ditugaskan di Denpasar.
Setelah memiliki 2 orang anak, pada saat anak keduanya baru berusia 2 tahun, istri dr. Angsar meninggal dunia, namun hidup harus berjalan terus. Perjuangan dan perjalanan hidup dr. Angsar mengantarkannya bertemu dengan seorang gadis Jawa bernama Sribanoen, gadis tangguh yang penuh kasih ini kemudian dinikahinya dan menjadi Ibu untuk kedua anaknya. Bersama Sribanoen dr. Angsar mendapatkan 5 orang anak, total 7 orang anak mewarisi darah pejuang, dan gen penolong dari tubuhnya.
Dalam perjuangan, menjadi jalur koordinasi dan informasi pemuda pejuang adalah fungsi utama yang dijalankannya. Selain itu tentu saja fungsinya sebagai dokter untuk masyarakat dan juga untuk pemuda pejuang.
Koordinasi dan informasi dijalankan melalui dapur umum yang dibukanya dengan biaya seluruhnya dari pembayaran yang diterima sebagai dokter masa itu, yang kadang harus ditambahkan dengan uang tabungan atau uang hasil penjualan kain batik yang dilakoni oleh Sribanoen untuk membantu ekonomi keluarga, dan menambahkan biaya perjuangan. Dana habis, hal biasa, bisa dicari lagi, habis lagi untuk makan pemuda pejuang, hal biasa, resiko kecil dari perjuangan.
Dalam kesehariannya, Sribanoen tidak heran bila tiba-tiba dr. Angsar diciduk oleh Belanda, dikembalikan setelah beberapa hari, atau mendadak tidak pulang dari rumah sakit tempatnya bekerja karena diciduk Belanda dari rumah sakit, hal biasa. Saat pulang pastilah badannya sakit-sakit atau memar, hal biasa, resiko kecil dari perjuangan.
Suatu kali, dr. Angsar hilang dan tidak kembali selama beberapa bulan, dan akhirnya dibebaskan dan pulang dalam kondisi gemuk dan putih kulitnya. Belakangan barulah diceritakannya, bahwa beliau ditahan di sel bawah tanah yang sempit sehingga sulit untuk bergerak, itulah yang menyebabkan kulitnya menjadi putih, dan terjadi pembengkakan di berbagai bagian tubuhnya. Ternyata bukan gemuk tapi bengkak.
Penelusuran saya mengenai dr. Angsar membawa saya pada data dimana anak dr. Angsar ada 2 yang jadi dokter, yang satu adalah Prof. dr. H. M. Dikman Angsar, SpOG(K), dan satu ada di Bali, juga dikenal sebagai ahli kandungan, bernama dr. Muhammad Ilyas Angsar, Sp.OG(K).
Nama Ilyas di tengah Muhammad dan Angsar ini dipilih untuk mengingat masa ketika Sribanoen mengandungnya dan masih menjalankan kegiatan dapur umum, untuk memberi makan banyak orang, dan berkoordinasi dengan pemuda pejuang. Maka sebagaimana ketaatan dr. Angsar pada agamanya, dipilihlah Ilyas yang diambil dari Nabi Ilyas A.S. yang dikenal karena amalnya yang luar biasa dalam memberi makan banyak orang. Kedua anak dr. Angsar ini masih hidup, silahkan cari kedua nama itu, korek langsung dari orang-orang di sekitarnya, maka akan didapatkan seberapa banyak derma dan amal yang dilakukan kedua anak dr. Angsar di atas, sebagaimana contoh yang mereka peroleh dari kedua orang tua mereka.
Demikian bagian pertama ini saya cukupkan, dan besok akan saya lanjutkan dengan bagian kedua dari tiga bagian cerita dr. Angsar yang sangat Indonesia. Besok akan kita lihat apa kaitan dr. Angsar dengan hari ini, dengan kemerdekaan Indonesia. Adakah peran beliau…
Besok, akan kita lihat juga sisi lain dari beliau ini sebagai seorang Ayah, seorang Kakek, sebagai manusia biasa dengan hati yang luar biasa.
Baca: dr. Angsar, Dokter Pejuang yang Setia Pada Sumpahnya sebagai Dokter
Berjuang sebagai dokter, berjuang sebagai anak bangsa, berkorban materi demi makan dan kesehatan masyarakat dan pemuda pejuang, berkorban fisik dalam siksaan, semua dilakoni dr. Muhammad Angsar Kartakusuma demi Indonesia. Tidak mungkin ada orang yang dapat mempertanyakan ke-Indonesia-an beliau.
dr. Angsar, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca tulisan lainnya:
Terima kasih atas tulisannya. Saya anak ketiga dari dr. M. Muh. Angsar Kartakusuma.
Sebuah kehormatan bagi saya untuk dapat mengangkat segala jasa dan kebaikan dr. Muhammad Angsar Kartakusuma, semoga tujuan utama saya tercapai, dan berkenan bagi beliau yang tidak pernah pamrih atas segala yang dilakukannya.
Salam hormat untuk Keluarga Besar dr. Muhammad Angsar Kartakusuma.
-Roger Paulus Silalahi-
Lanjutannya: https://www.sintesanews.com/dr-angsar-dokter-pejuang-yang-setia-pada-sumpahnya-sebagai-dokter/