Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi
Bagian Pertama
Hiero digiring ke lapangan, tangan terikat ke belakang, mata ditutup, dibariskan dengan entah berapa orang lain yang tidak dikenalnya. Lalu semua diperintahkan untuk berlutut dan membungkukan badannya ke depan, siap untuk dipenggal. Bergetar badan Hiero memikirkan istri yang sedang hamil besar dan 3 orang anaknya di rumah.
“`Chottomatte,sono nanbā 1 no hito o tebanashite…!!!”, demikianlah teriakan dari Kanrikan Nakamura. Teriakan itu menyelamatkan nyawa Hiero, seorang Kepala Sekolah di Poso.
Hiero (demikian teman-temannya menyapanya) mempunyai nama lengkap Hieronymus Silalahi, seorang laki-laki Batak dari keluarga Silalahi yang lahir pada tanggal 18 Oktober 1912 di Sidikalang, sebuah kota di barat daya danau Toba. Tumbuh besar di sana, dan bersekolah hingga tamat pendidikan dasar, kemudian melanjutkan sekolah ke Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Bantu di Solo.
Hiero yang berhasil lulus sebagai siswa terbaik itu kemudian dikirim oleh Van Goedoever ke Openbare Hoofdacte Cursus di Bandung pada tahun 1934, kemudian lulus pada tahun 1936, beliau adalah orang Indonesia pertama yang meraih Diploma Hoofdacte.
Setelah selesai Hiero mengajar di HIS swasta di Bengkulu, dan bertemu dengan Tiomina br Lumban Tobing yang lahir di Pangururan Samosir pada 15 September 1916. Hieronymus Silalahi menikahi Tiomina br Lumban Tobing, kemudian Hiero diperintahkan untuk pindah ke Poso sebagai Hoofd der Christelijke (Kepala Sekolah Kristen) Zendingschool yang dikelola Belanda. Hiero tinggal di Poso mulai tahun 1937 hingga 1949 sebagai Kepala Sekolah dengan berbagai kejadian yang menyertai hidupnya.
Dalam kesehariannya, karena kepandaiannya berbahasa, Hiero berkawan dengan berbagai orang dari kalangan terdidik dan mengembangkan pendidikan di sana. Perjuangannya lebih mengarah pada mencerdaskan anak bangsa bukan pada perang fisik. Selain mengajar, Hiero juga aktif di gereja, membantu berbagai hal terkait pengadministrasian, pencatatan, menerjemahkan khotbah, dan menjadi jembatan penyampaian kepada jemaat di sana, baik dalam khotbah, maupun dalam konsultasi antara jemaat dengan pendeta di sana. Hal ini berlanjut terus hingga masuknya tentara pendudukan Jepang.
Saat tentara pendudukan Jepang masuk, sekali lagi, karena posisinya sebagai Kepala Sekolah dan kepandaiannya berbahasa, Hiero menjadi jembatan penyampaian pesan.
Saat itu Kanrikan Nakamura adalah pimpinan tentara pendudukan Jepang di Poso, dan Nakamura terkesan dengan kepandaian Hiero dalam hal bahasa. Tidak lama setelah masuknya tentara pendudukan Jepang, ada 3 orang Pendeta berkebangsaan Jepang yang diturunkan di Poso, mereka adalah Ref. Seyla, Ds. Huziaki, dan Ds. Narumi. Mereka bertiga hanya menginjili, memimpin kebaktian di gereja setiap hari Minggu dan menjadi gembala jemaat. Hiero senantiasa menjadi penerjemah atas khotbah mereka. Demikanlah berjalan hingga menjelang akhir masa pendudukan Jepang.
Kala itu tentara Sekutu yang diboncengi NICA mulai menyerang, dan Jepang sangat khawatir, mereka mencoba menutup segala informasi terkait kekuatan mereka di setiap wilayah. Semua orang dipantau, dan bila dianggap berpotensi menjadi mata-mata Sekutu, pasti dipenggal.
Masa itu ada cerita lain di wilayah Kebumen, dimana etnis tertentu dianggap berpotensi menjadi mata-mata Sekutu, dan di sana keseluruhan etnis tersebut dibantai habis, hingga anak bayi sekalipun. Suasana begitu mencekam, berita pemenggalan itu sangat menakutkan, teror tersebar. Tidak berbeda nampaknya dengan situasi Suriah ketika ISIS menyerbu, eksekusi penggal, bunuh, menjadi hal yang biasa.
Pada masa itulah Hiero mendapatkan tugas untuk memantau sekolah-sekolah lain di Sulawesi dalam kaitan pengkajian pengembangan sistem pendidikan. Jangan lupa, Hiero adalah Kepala Sekolah dari sekolah yang dikelola Belanda sebelum Jepang masuk. Sesampainya kembali di Poso, Hiero harus melaporkan diri, datang ke Markas Tentara Jepang, menyampaikan bahwa dia sudah kembali ke Poso. Saat itu Nakamura menanyakan kepada Kepala Polisi Jepang di Poso dalam bahasa Jepang; “Apa pendapatmu tentang Hiero ini…?”, dan dijawab; “Jangan mempercayai orang yang bekerja baik, Justru orang-orang macam itulah yang sering berkhianat”.
Mendengar hal itu Hiero kaget dan bingung, bagaimana bisa tuduhan mata-mata Sekutu diarahkan kepadanya. Tapi apa mau dikata, Hiero ditahan dan diinterogasi. Simple sekali peradilan pada kondisi perang; “Curiga, Interogasi, Tidak Perlu Bukti, Hukum Mati Saja”, semua dalam kondisi panik.
Keesokan harinya, Hiero digiring ke lapangan, tangan terikat ke belakang, mata ditutup, dibariskan dengan entah berapa orang lain yang tidak dikenalnya. Lalu semua diperintahkan untuk berlutut dan membungkukan badannya ke depan, siap untuk dipenggal. Bergetar badan Hiero memikirkan istri yang sedang hamil besar dan 3 orang anaknya di rumah. Hiero hanya mampu berdoa dalam hatinya; “Tuhan, aku berserah…”.
Di saat yang sama, Ds. Namuri, salah satu Pendeta yang saya ceritakan di atas mendatangi Markas Tentara Jepang itu dan menghadap Nakamura. Entah siapa yang memberitahu Ds. Namuri, tapi dia datang dan merisikokan dirinya dengan mengatakan pada Nakamura; “Hiero itu orang baik, hidupnya hanya untuk mendidik dan mengajar, kesehariannya pun dijalaninya atas nama Tuhan, tidak mungkin dia mata-mata”. Kira-kira demikianlah penyampaian Ds. Namuri pada Nakamura.
Nakamura ke lapangan dan berteriak; “Chottomatte,sono nanbā 1 no hito o tebanashite…!!!” yang artinya “Tahan, lepaskan orang yang nomor 1 itu…!!!” Hiero dilepaskan, dibawa oleh Ds. Namuri pulang ke rumahnya. Rasa takut dan cemas terulangnya hal itu membuat Hiero memutuskan mengungsi ke pinggiran Poso, di pegunungan.
Masih panjang kisah Hieronymus ‘Hiero’ Silalahi, hingga harus saya bagi menjadi 2 bagian. Besok, bagian kedua.
Bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang religius, beragam agama, tapi semua percaya dan berpegang pada Tuhan. Hal ini jelas diangkat dan dibahanakan dalam Pancasila, Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam kondisi apapun, di titik nadir sekalipun, Tuhan punya kuasa, dan kepada-Nya lah orang Indonesia berpegang, memohon, dan berserah. Demikian pula Hiero, di titik “tunggu penggal”, bukan keluhan yang diucapkannya, tapi permohonan akan perlindungan Tuhan.
Hiero, orang Indonesia… Kamu…?
-Roger Paulus Silalahi-
Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”
Baca artikel lainnya:
Berjuang, Bekerja, Berprestasi, Berposisi, Tidak dengan Korupsi