Berjuang, Bekerja, Berprestasi, Berposisi, Tidak dengan Korupsi

Penulis: Roger “Joy” Paulus Silalahi

Belum lama ini sebuah video dibagikan WAG (whatsapp group) berisikan berita mengenai Menteri Sosial, Ibu Tri Rismaharini sedang menyelidiki pemotongan Bansos Rp 50.000 per kepala oleh oknum pemerintah. Ibu Risma berkata; “Ibu harus berani, laporkan, tulis surat ke saya, kantor saya di Salemba Nomor 28…”, saya langsung terhenyak.

Mengapa…? Alamat itu tidak akan pernah terlupakan, karena dulu di sana ada “Casa Maruroso”, tempat saya tinggal bersama Opa dan Oma sejak usia 6 bulan sampai 3 tahun-an. Dulu, itu adalah Kompleks Pensiunan Angkatan Darat, yang kemudian digusur oleh Ibu Tien Soeharto untuk dijadikan Museum Nasional, dan sekarang menjadi kantor Kementerian Sosial Republik Indonesia.

-Iklan-

Opa pensiunan TNI Angkatan Darat, namanya Let. Kol. Rudolf Karel Matindas, posisi terakhirnya Kepala Perbekalan Kesehatan Angkatan Darat Seluruh Indonesia. Pernah saya bertanya dengan kagum waktu tahu hal itu; “Opa itu Let. Kol. ya…?” Opa yang selalu mentertawai pangkatnya itu dan menjawab; “Iya, Letnan Kolot…”, tidak ada kebanggaan di wajahnya, sebaliknya ada getir yang tersirat di matanya. Mengapa getir…?

Lahir di Kutaraja Aceh 8 Januari 1919, pada usia 16 tahun menyusup ke sebuah kapal laut sebagai penumpang gelap ke Jakarta, agar bisa sekolah. Opa masuk lalu Sekolah Asisten Apoteker, dan setelah jadi asisten apoteker beliau jadi polisi. Bertugas sebagai polisi sampai jadi detektif (jaman sekarang namanya reserse), lalu entah bagaimana ceritanya Opa masuk TNI Angkatan Darat sebagai Letnan Satu (2 bintang putih di pundak).

Pernah bertugas di Jakarta, Palembang, Ambon, Makassar, dan balik lagi ke Jakarta hingga pensiun. Istrinya (Oma) adalah Roos Staverman (aka Rosalind Staverman, lahir 27 Februari 1916 di Harlem – Nederland), dikaruniai 7 anak, yang perempuan 2 orang namanya Sonya F. Matindas (F-nya beda), yang laki-laki 5 orang namanya Rudolf W. Matindas (W-nya beda), jadi kalau ketemu nama Sonya F Matindas atau Rudolf W Matindas, kemungkinan besar anaknya Opa dan Oma, unique.

Banyak cerita lucu, membanggakan, dan pahit soal Opa dan perjalanan hidupnya. Cerita mengenai rumah pertama saat tugas di Makassar yang satu kamar diisi 5 orang, kamar penuh dengan tempat tidur tingkat khas tentara, cerita mengenai kursi dengan kaki berbentuk V yang tidak balance, rumah tanpa meja karena tidak sanggup beli meja, dll., tapi bukan itu fokus saya sekarang.

Selain sebagai pekerja, abdi negara, Opa juga hobi olah raga. Tercatat meraih Juara 1 turnamen Anggar saat Porda Sulsel, lupa tahun berapa, anggar memang ada di darah keluarga. Opa (juara Sulsel), Mama (Juara 3 Jawa Barat), lalu kakak nomor 4 dan keponakan nomor 3, semua orang anggar.

Selain anggar Opa juga anggota tim Sepakbola Angkatan Darat yang tidak terpakai lagi setelah cidera karena lapangan yang berlubang menjerat kakinya hingga lepas lututnya. Perjuangan diri untuk sekolah, untuk berprestasi, hingga masuk TNI dan berakhir di posisi puncak sebagai Kepala Perbekalan Kesehatan Angkatan Darat Seluruh Indonesia, sungguh satu perjalanan panjang yang penuh dengan perjuangan, keringat, darah, dan air mata.

Setelah pengabdian sekian puluh tahun, Opa pensiun. Berbagai tanda jasa diperolehnya, bukti penghargaan atas jasa-jasanya.

Anehnya adalah, Opa koq miskin sekali, sementara Letnan Kolot yang lain kaya raya. Opa hidup hanya dari uang pensiun yang tidak seberapa, jangankan mobil, motor pun tidak punya, kalau sepeda ada 1 buah. Ke mana-mana naik bis atau helicak (anak milenial tidak kenal helicak).

Pernah Opa harus tergeletak di jalan karena lututnya lepas saat beliau lompat naik ke bis kota, kalau tidak salah waktu itu mau ke perkawinan keponakannya, tapi tetap saja Opa ya Opa, lanjut ke perkawinan sambil menahan rasa sakit yang luar biasa itu.

Sebenarnya ada rasa sedih lihat Opa, tapi semua sedih tertutup bangga karena penyebab kemiskinannya adalah kejujurannya, tidak seperti pengganti Opa di Perbekalan Kesehatan Angkatan Darat waktu itu yang langsung beli rumah dan mobil Mercy hanya dalam waktu satu bulan setelah menjabat.

Beberapa tahun sebelum Opa meninggal dunia, ada satu hari yang luar biasa. Pagi itu Opa pergi ke Mabes Angkatan Darat, membawa semua tanda jasanya, mengembalikan keseluruhannya pada Mabes AD dengan pesan; “Saya tidak perlu tanda-tanda ini, karena perlakuan negara kepada saya bertolak belakang dengan semua tanda jasa ini…”.

Memang, setelah pensiun Opa dapat rumah di Salemba Raya Nomor 28, tapi kemudian digusur untuk ambisi Ibu Tien Soeharto, diberikan rumah pengganti di Cibubur yang sangat kecil dan ringkih, yang harus dikembalikan bila Opa meninggal. Ini membuat Opa sangat kecewa, dan membuat sedih banyak orang.

Situasi rumah Cibubur dan suasana yang ada di sekitarnya membuat anak ke 5 Opa, Oom Buddy panggilannya, membeli rumah di Ciputat Baru, dekat dengan kompleks dosen UI tempatnya tinggal sampai sekarang. Rumah yang jauh lebih layak, lebih dekat, dan milik pribadi. Di situlah Opa dan Oma menghembuskan nafas terakhir, di rumah yang didapatkan dari kasih sayang, bukan penghargaan palsu dari kaum yang tidak tahu malu.

Teringat sederet kata bijak;
“You don’t need a silver fork to eat good food…”
-Paul Prudhomme-

Oma meninggal 1 Desember 1993, lalu dikremasi, dan abunya ditaburkan di pertemuan 3 laut di Sulawesi Utara, sampai sekarang, setiap ke pantai (saya tinggal di Bali, pantai di mana-mana) saya selalu mulai dengan bilang dalam hati; “Halo Oma, hoe gaat het met u…?”

Nanti ada cerita tentang seberapa Indonesia Oma. Setelah Oma meninggal, anak dan cucu bergantian mengunjungi dan menemani Opa yang tidak mau pindah dari Ciputat. Dalam obrolan ketika mengunjungi Opa ada 2 pesan yang spesifik dari Opa;

  1. “Nanti kalau aku meninggal, aku dikubur ya, jangan dibakar, panas…”, Opa yang lucu, dan pesan kedua adalah;
  2. “Nanti kalau aku meninggal, aku tidak mau dikubur di Taman Makam Pahlawan, aku tidak mau ada upacara militer, mereka tidak punya kaitan apa-apa dengan aku…”, Opa yang memegang teguh harga diri.

Berjuang, bekerja, berprestasi, berposisi, tidak identik dengan korupsi. Menjadi contoh dan teladan untuk orang lain, tidak identik dengan dihargai.

Apapun, berjuanglah, bekerjalah, raih prestasi, raih posisi, berikan contoh, berikan teladan, dengan mengingat bahwa penghargaan atau caci maki yang sesungguhnya, akan diterima setelah kamu pergi. Seperti Opa, setelah meninggal pada 6 Februari 1995 barulah semua bercerita bagaimana hidup lurus, baik, bermanfaat, dan jujurnya Opa menjadi inspirasi untuk yang mengenalnya, bagaimana berbuat bukan untuk diberi, tapi untuk memberi arti bagi negeri.

Opa, orang Indonesia… Kamu…?

-Roger Paulus Silalahi-

 

Artikel ini merupakan seri tulisan “Seberapa Indonesia Kamu?”

Baca artikel lainnya:

Berkarya, Berbakti, Itulah Indonesia, Seberapa Indonesia Kamu?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here