Perang Melawan Ideologi Asing Berbentuk Hoaks, Masih dengan Tagar?

KOLOM

OPINI

Ganda Situmorang
Patriot 98 NKRI

-Iklan-

Menteri Penerangan Publik dan ahli propaganda Nazi Joseph Goebbels seorang propagandis. Propaganda Goebbels kerap menyerang penganut Yahudi yang kemudian dibantai massal oleh Nazi pada Perang Dunia II. Pandangan anti-Yahudi dari Goebbels penuh dengan kekerasan dan prasangka. Salah satu ucapan yang sering dikaitkan dengan Joseph Goebbels adalah terkait kebohongan.

Sebagai seorang propagandis, Goebbels banyak disegani ilmuwan, bahkan sampai sekarang. Itu karena ia dianggap sebagai pelopor dan pengembang teknik propaganda modern. Teknik jitu kepiawaiannya itu diberi nama argentum ad nausem atau dikenal dengan teknik big lie (kebohongan besar)

Doktrin Goebbels paling sohor adalah: “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan!” Sedangkan kebohongan sempurna, kata Goebbels, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.

Dalam kondisi perang terbuka seperti masa Perang Dunia jelas propaganda Goebbels akan sangat sulit dilawan. Karena yang berlaku adalah hukum perang militer bukan aturan tertib sipil sebagaimana layaknya Peraturan Perundangan yang berlaku di satu negara.

Cilakanya, strategi dan taktik propaganda Goebbels kenyataannya dipakai dalam masa tertib sipil di Indonesia. Hal ini sangat jelas dipertunjukkan oleh salah satu kontestan sejak Pilpres tahun 2014.

Resikonya sangat fatal namun memang Tuhan Yang Maha Esa masih memberkati warga Indonesia dengan akal waras. Mayoritas warga +62 masih bisa tetap menginjakkan kakinya di bumi bulat, bukan bumi datar.

Namun tak disangka juga bahwa ternyata Propaganda Kebohongan (Hoaks) terus berlangsung pada masa pasca Pilpres, setiap hari setiap relung ruang di dunia maya. Bahkan ruang publik dan akun private media sosial tiada henti dihujani oleh berita palsu, caci maki, hujatan dan segala jenis kebohongan (hoaks) yang lain.

Atas nama demokrasi, kebebasan berpendapat dan era keterbukaan, bahkan orang berpendidikan tinggi sekalipun tidak sedikit yang termakan hoaks. Ada banyak yang sampai tidak percaya Covid-19, menentang dan tidak mau divaksin, dan ada yang terang benderang menuntut Presiden Jokowi mundur dan banyak lagi.

Sampai di sini sebenarnya akar masalah sudah jelas. Bahwa hoaks merupakan ancaman terhadap proses demokrasi, dan hendak menggulingkan presiden hasil pilihan demokratis rakyat. Maka hoaks baik produk konten dan subjek pelaku itu merupakan ancaman sangat sangat nyata terhadap kedaulatan negara dan eksistensi bangsa Indonesia yang berbudaya adi luhung.

Adalah kekeliruan besar Pemerintahan Jokowi yang kelihatannya kurang tegas memberantas hoaks sejak usai Pilpres 2014. Hukuman permintaan maaf dengan tanda tangan di atas materai seperti menutup mata terhadap eksistensi hoaks yang sebenarnya sangat berbahaya bagi bangsa dan negara.

Rakyat Indonesia khususnya Relawan Jokowi sebenarnya sudah membayar lunas perang melawan hoaks ketika berhasil ikut menghantarkan Presiden Jokowi memenangkan Pilpres hingga dua periode. Maka sesungguhnya adalah tugas dan tanggung jawab Presiden Jokowi dan gerbong kabinetlah untuk memberantas hoaks pasca Pilpres. Pemerintah, Negara dan aparatur penegak hukum dengan segala kekuasaan, kewenangan dan fasilitasnyalah yang semestinya secara vertikal menjalankan fungsinya dalam hubungan tertib sipil negara dengan warganya.

Hukuman terhadap hoaks harus tegas dan konsisten jauh lebih dari sekedar materai 10 ribu perak.

Apakah perlu peraturan baru misalnya dengan mencabut hak dan akses pelaku terhadap sosial media rasanya lebih taktis dan masuk di akal daripada sekedar hukuman pidana penjara tapi masih tetap bisa menyebar hoaks selama dan setelah keluar dari penjara. Sama logisnya dengan mencabut hak konstitusional memilih dan dipilih bagi koruptor.

Memberangus media yang terbukti penyebar hoaks bukan berarti menghilangkan kebebasan berpendapat apalagi sampai dikatakan memberangus kebebasan pers.

Pada masa rezim Orba Pak Harto, jangankan hoaks, kritik kepada pemerintah langsung dicekal, dituntut pasal subversif bahkan tidak sedikit yang hilang. Perihal mengakhiri rezim Orba Pak Harto, bangsa ini memang berterimakasih dan mencatat sejarah dengan tinta emas jasa para Patriot Reformasi 98.

Gerakan perang melawan hoaks dengan benturan antar masyarakat secara horizontal harus dihentikan segera.

Apalagi dengan cara-cara perang tagar dan perang buzzer terbukti bukan solusi selain hanya memelihara kegaduhan ibarat api dalam sekam dan menyianyiakan waktu dan energi bangsa.

Perang melawan hoaks seharusnya dilakukan langsung oleh negara dengan segala kewenangan dan kekuasaannya yang sudah diserahkan oleh rakyat melalui proses demokrasi. Negara wajib melindungi rakyat dan bangsa ini dari ancaman asing berbentuk hoaks.

Tentu saja rakyat akan terus bergerak melawan hoaks tapi tanpa kehadiran negara dengan penegakan hukum yang tegas dan konsisten, rasanya perang melawan hoaks ini niscaya tidak akan pernah berakhir.

Salam Pancasila 🇮🇩
22072021

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here