Penulis: Heri Firmansyah (Gusdurian Cianjur)
Saya sendiri bukan pelukis seperti sahabat Dhinus Mahatva atau Nandang, tapi setidaknya perjumpaan pemikiran pada persoalan filsafat, kebangsaan dan pluralisme, termasuk tema-tema lukisan dan tafsirannya ia menjadi obrolan yg selalu hadir dan mengalir begitu saja, syaratnya cukup kretek dan seruput kopi liong.
Dalam kesempatan yang begitu paripurna, Gus dur selalu menjadi topik yang menarik salah satunya dengan mengungkapkan kembali pesan-pesan yang saya kira bukan saja relevan, namun juga sebagai bahan kontemplasi bersama dan sayapun diberikan kesempatan terhormat untuk hadir sekedar memberi catatan kecil.
Saya masih ingat tulisan Fahry Ali dan Bahtiar Efendy dalam bukunya “Merambah Jalan Baru Islam”, yang menempatkan Gus Dur dan Nurcholis Madjid dalam pemikiran islam bercorak modernisme dan tradisional, di antara corak lainnya yang neo-modernisme dan universalisme. Sekalipun tulisan tersebut mendapat kritik yang tajam dari berbagai pihak, tentu ini menjadi praktik diskursif yang menarik. Seperti yang juga sama dilakukan Greg Berton dalam pandangannya dengan menempatkan Djohan Efendy, Nurcholis Madjid dan Gus Dur sebagai perintis Neo-modernisme.
Kembali menyoal Gus Dur dari sisi lain saja. Karena temanya seni saya coba narasikan bagaimana Gus Dur berinteraksi dengan buku, musik, seni dan film.
Gus Dur dan Buku
Greg Barton penulis Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, dalam beberapa bagian bukunya menuliskan tentang kegandrungan Gus Dur membaca buku. Melalui catatan Barton kita dapat belajar betapa gemar dan cintanya Gus Dur terhadap buku. Kekuatan membaca Gus Dur seharusnya menginspirasi setiap santri di pesantren, para siswa secara umum yang sedang berjuang menggapai pengetahuan.
Bacaannya luas, tak sekedar kajian keagamaan. Ia membaca semua karya William Faulkner, novel-novel Ernest Hemingway, puisi Edgar Allan Poe dan John Done, Andre Gide, Kafka, Tolstoy, dan Pushkin serta ia juga membaca karya Marx dan Lenin.
Gus Dur pernah bilang:
“Saya memang agak menguasai ideologi, karena sejak dulu saya membacanya, anda mungkin tidak percaya saya membaca what to be done-nya Lenin, Mao Zedong dan Grammsci, maka tak heran ketika dunia Kristen pada tahun 70-an muncul ‘teologi pembebasan’ lewat karya Gustavo Marino Tierez, saya segera apresiasi.
Dari buku itulah, saya bisa mengkritisi kapitalisme yang materialistik, dan paham sosialisme tetapi keberpihakannya tidak bersifat membabi buta. Sayapun punya kritik tajam terhadapnya.”
Dari pernyataan tersebut tak heran kalau kemudian Gus Dur mulai bersentuhan dan apresiasi pada paham sosialisme, walaupun beliau lebih bertolak pada visi budaya ketimbang ideologis.
Selain begitu senang berdiskusi, Gus Dur terkesan dengan karya yang memancing imajinasi seperti yang pernah disampaikan beliau, “Saya terkesan dengan kesyahduan agama dari Albert Camus. Sikapnya yg memberontak kemapanan mengesankan saya.”
Dari William Folkner, Gus Dur merasa banyak tahu tentang manusia. Gus Dur juga begitu tertarik pada Kassim Sammara’i yang menyusun “Talgid al-Suluk”-nya imam al-Qusairy, yang menceritakan Isra Mi’raj dalam perspektif mistik. Sammarai menurut Gus Dur, mengusai delapan agama, dan inilah yang membuat Gus Dur membuat takjub.
Pada paul Tillich, Gus Dur begitu terpesona. Begitupun dengan Muhammad Arkoun, Hasan Hanafi dan Magnum Opus-nya Ihya Ulumudin karya Imam Al-Ghazali yang sanggup mengembangkan intuisi dengan begitu jauh.
Kita tentu saja dapat banyak belajar dari seorang Gus Dur. Keteguhannya mencintai bangsa ini, membela mereka yang terpinggirkan tentu tak usah diragukan lagi. Aspek yang sering dilupakan adalah bagaimana kemampuan Gus Dur dalam membaca dan mengkaji beragam perspektif keilmuan. Membaca sebanyak-banyaknya buku yang tentu saja akan membuka kekayaan perspektif dalam memandang persoalan.
Gus Dur dan Musik
Agaknya Gus Dur memang lebih menyukai Simphony ke -9 Bethoven ketimbang gambus. Gus Dur tampaknya punya alasan sendiri. Simponi menurut Gusdur, berisikan nilai perdamaian dan persaudaraan manusia. Apakah itu bukan ajaran Islam? Kata Gus Dur, melaui musik itulah, saya bisa melihat manusia secara utuh. Kita tidak gampang memarahi, Tuhan menciptakan kita dengan segala kebesarannya.
Gus Dur, Film dan Kesenian
Terlepas dari hingar-bingar dan berbagai kontroversi dalam dunia perpolitikan di tanah air, Gus Dur sejatinya merupakan sosok multidimensi. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang tidak sekedar cerita-cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen mancanegara tidak luput dari perhatianya. Selain membaca, Gus Dur gemar pula bermain bola dan musik. Maka tidak heran jika Gus Dur pernah menjadi komentator sepak bola di televisi dan menjadi kolumnis sepakbola pada sebuah majalah. Menonton bioskop juga ikut melengkapi hobinya hingga menimbulkan apresiasi yang mendalam terhadap dunia film. Bahkan pada 1986-1987 Gus Dur terlibat sebagai juri Festival Film Indonesia.
Sisi lain Gus Dur yang tidak cukup banyak disinggung barangkali kedekatannya dengan dunia kesenian dan kebudayaan. Alih-alih menjadi ulama selepas mengecap pendidikan di Mesir dan Irak, Gus Dur justru lebih terkenal sebagai budayawan sekembalinya di tanah air. Pada akhir periode tahun 1970-an, Gus Dur beberapa kali terlibat mengisi ceramah-ceramah kesenian dan kebudayaan, termasuk di lingkungan Taman Ismail Marzuki, yang pada masa-masa itu tengah mengalami periode keemasannya sebagai sentral aktivitas kesenian dan kebudayaan.
Pada Juni 1975 ceramah Gus Dur bertajuk “Kebudayaan Arab dan Islam” bahkan membuat banyak hadirin yang memenuhi Teater Arena, Taman Ismail Marzuki terhenyak. Dalam ceramahnya itu Gus Dur menyinggung persoalan sensitif menyangkut kegagapan masyarakat Indonesia yang mengidentifikasikan kebudayaan Arab sama dengan Kebudayaan Islam.
“Diktum Arab adalah Islam, yang seringkali berakibat Islam adalah Arab, menjadi semacam rangka berpemikiran yang telah membuat kita bersikap tidak realitas selama ini. Sudah waktunya cara memandang semacam ini diubah, dengan cara menyadari sepenuhnya akan besarnya diversifikasi unsur-unsur kebudayaan Arab, sebagaimana yang juga dimiliki oleh kebudayaan bangsa kita sendiri”, kata Gus Dur menutup ceramahnya.
Kontroversi kembali menyapa Gus Dur saat terpilih sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, DKJ periode 1982-1985. Geger di kalangan nahdliyyin yang mempertanyakan kadar kesenimanan Gus Dur yang pada saat itu sekaligus menjabat Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.
Namun pertanyaan serupa justru tidak muncul di kalangan seniman. Toeti Heraty Noerhadi, sastrawan, yang sama-sama menjabat Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Gus Dur pada periode itu malah memiliki kesan mendalam dengan kehadiran Gus Dur di lembaga yang keberadaannya diprakarsai Gubernur Jakarta Ali Sadikin itu.
“Masa-masa itu paling mengasyikkan, dimana kami sering berdiskusi, bertukar pikiran tentang berkesenian dan mengenai perlunya seniman memiliki kebebasan dalam berekspresi. Tentu tidak melulu serius, karena diselingi dengan joke-joke-nya yang segar,” katanya mengenang.
Sayang, kata Toeti, kehadiran Gus Dur di DKJ hanya berlangsung singkat karena kesibukan Gus Dur yang pada saat itu mulai merambah ke dunia politik. Namun bagi Toeti, meski tidak sampai penuh tiga tahun menjabat di DKJ, kehadiran Gus Dur dengan latar belakang keilmuan dan wawasannya yang luas telah memberi warna lain bagi DKJ.
Selamat jalan Gus Dur…, tanpamu bangsa ini repot…, kata Gus Widi.