Penulis: Erika Ebener
Menjawab pertanyaan seperti di atas, kita tidak bisa lagi menjawab dengan jawaban “Ya sudah takdirnya saja.” Dan sejujurnya, tak hanya terkait dengan masalah covid saja, masalah lain seperti kecelakaan, kecurian, atau kehilangan, kita tak bisa hanya berpasrah pada yang Namanya “takdir”. Mengapa? Karena Tuhan senantiasa melihat usaha yang dilakukan oleh manusia, apakah si manusia itu menantang-nantang bahaya, berikhtiar mencari rejeki atau jodoh, atau hanya diam saja.
Pada tahun pertama, semua orang yang terpapar covid, karena ketidaktahuan. Para ilmuwan dilanda kebingungan dikejutkan dengan kemunculan virus baru, yang tidak pernah ada sebelumnya. Menebak-nebak apakah virus ini sejenis SARS-kah? Atau H1N1 kah? Atau flu burung kah? Atau apa? Yang pasti, banyak orang memperlihatkan proses kematian yang cukup cepat setelah gagal bernapas.
Beberapa waktu kemudian, para Ilmuwan baru paham bahwa virus baru ini menyebar dari manusia ke manusia. Sementara orang-orang yang pernah ada di episentrum virus sudah menyebar ke mana-mana, hingga ke Indonesia.
Dan kondisi yang serba tidak pasti, pejabat berusaha mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang simpang-siur. Langkah penanganan pencegahan penyebaran dibuat dalam kepanikan. Hingga akhirnya ditetapkan Protokol Kesehatan. WHO menginstruksikan “lockdown” tapi hanya bisa dilakukan oleh negara yang penduduknya 100% manusia patuh. Bagi negara yang penduduknya ngeyel, tak bisa melakukan lockdown.
Penjelasan bagaimana virus, yang kemudian dikenal dengan nama covid-19 menular dan menyebar, terus digaungkan. Protokol Kesehatan terus dipropagandakan.
Apa lacur? Namanya negara dengan penduduk terngeyel sedunia, pernyataan apapun yang dikeluarkan oleh pemerintah, ditangkap dengan kecurigaan, tuduhan, ejekan.
Di tengah pandemic covid-19, Indonesia terbelah dua, antara kelompok rakyat yang percaya dan patuh pada apa yang diperintahakan oleh Negara, dan rakyat yang tidak percaya dan menolak kenyataan. Padahal sedianya, apa yang dilakukan pemerintah adalah untuk menolong rakyat agar selamat dari pandemi dunia.
Sekarang kita memasuki tahun kedua. Virus corona kembali menyerang dengan varian delta bahkan lambda. Korban kembali berjatuhan. Padahal aturan protokol kesehatan tidak pernah diubah, tetap harus dilakukan, jika kita ingin selamat.
Kita sekarang bisa menyimpulkan bahwa para korban yang jatuh di tahun kedua, tak lain dan tak bukan karena kelengahan, keteledoran, kelalaian pribadi masing-masing, dan bukan karena tidak tanggapnya pemerintah atas permasalahan.
Bagaimana tidak? Setahun sudah, segala macam penjelasan dan penerangan atas apa, siapa, kapan, dan bagaimana virus corona bisa dan dapat menginfeksi manusia, ibaratnya sudah bolak balik dibaca, didengar dan dilihat. Kok kita masih tetap lalai, tetap abai, tetap menyepelekan, bahkan menantang-nantang ingin bertemu, ingin menyentuh? Memangnya sejak kapan sebuah virus bisa terlihat kasat mata???
Jika hari ini saya masih bertahan tak terpapar walaupun belum mendapatkan vaksin, itu bukan karena saya kebal virus corona, tapi karena saya patuh melaksanakan Protokol Kesehatan, disiplin untuk tidak bepergian, taat pada aturan apapun yang dibuat pemerintah tanpa sedikitpun mempertanyakan kenapa begini atau kenapa begitu. Daaaan… saya memperlakukan semua orang sebagai OTG.
Kalau saya antri dan orang di depan atau di belakang saya mendekat atau kurang dari 1.5 meter, saya mundur atau saya minta dia untuk mundur, jika mereka tak mengindahkan, maka saya keluar dari antrian…
Virus corona tidak akan pernah pergi dari kehidupan kita. Dalam kondisi menghadapi penyakit yang kemungkinan akan bertahan secara permanent, pilihan dan keputusan pada akhirnya akan berada di tangan masing-masing dari kita.