KOLOM
OPINI
Dahono Prasetyo
Pandemi ini sudah masuk wilayah sentimen tiap individu.
Pergulatan situasi selama lebih 1 tahun membuat siapapun mulai lelah dengan pertanyaan sama: Kapan berakhir.
Siapa saja bisa terpapar virus tidak kenal status sosial, jenis kelamin, umur dan agamanya. Bahwa kemudian jurang sosial semakin melebar benar adanya. Bagi mereka yang mampu saat terpapar virus dan mesti menghentikan aktifitas kerja, masih ada simpanan dana untuk bertahan hidup hingga situasi membaik.
Berbeda dengan si miskin yang terpapar, kerja harian terhenti, tak ada simpanan cukup. Bagi yang berkeluarga ada mulut dan perut menanti belas kasihan saudara kerabat juga beberapa bantuan pemerintah. Itupun tidak selamanya tercukupi, karena jumlah mereka yang senasib makin bertambah.
Kecemburuan sosial muncul dalam situasi yang sama, di saat golongan menengah ke atas bisa fokus urusan kesehatan. Urusan isi perut dan vitamin penguat daya tahan masih ada jaminan dari simpanan harta benda miliknya. Berbeda dengan mereka menengah ke bawah yang cenderung pas-pasan. Mengupayakan kesehatan sambil memikirkan bagaimana makan apa besok bagi anak dan istri, itu proses mempercepat penurunan imun yang paling sederhana.
Tanpa kita tengok sesungguhnya mereka sudah menengadahkan tangannya, memohon bantuan dengan meninggalkan rasa malunya. Berbagai bantuan pemerintah bulanan cukup menjadi solusi sementara namun tidak menghapus persoalan tersendatnya siklus hidupnya.
Tengadah tangan mereka siapapun bisa menyaksikan, meski tidak semuanya mau peduli. Kesadaran peduli mesti dibangun dari rasa kesulitan yang sama. Berbagi pada saat sulit akan terasa berat saat masih dihinggapi ego.
Bagi yang mampu, jika setiap hari menghabiskan 200 ribu untuk nasi dan lauk pauk, sekiranya sudi menguranginya menjadi 150 ribu. Memberikan 50 ribu untuk mereka tidak mampu yang berada tidak jauh dari tempat tinggal.
Mengurangi 50 ribu tidak akan membuat tiba-tiba lapar kekurangan gizi. Namun memberikan 50 ribu cukup untuk menyelematkan kelaparan beberapa perut.
Ini bukan hanya persoalan mengetuk hati, tetapi urusan kemanusiaanlah yang mampu menisbikan perbedaan. Gerakan orang baik berbagi makanan bisa dilakukan dimanapun, tanpa butuh expose media, tepuk tangan penonton, bahkan saat tangan kanan kita mengulurkan tidak harus tangan kiri kita tahu.
Lalu lahirlah ribuan ucapan terima kasih paling tulus yang didengar Tuhan. Entah Tuhan membalas dengan apa yang pasti tidak akan alpa.
Sebutir kecil kebaikan tidak akan ada yang sia dia, kecuali kita yang hanya diam merenung menghabiskan usia
Depok 09/07/21