Berpolitik dengan Ideologi Kebencian, “Narkoba” Kehidupan

Penulis: S Indro Tjahyono, pengamat sosial politik.

Apakah betul ideologi akan mati seperti ramalan Daniel Bell?

Sejauh ini orang percaya itu, dan mulai muncul partai tidak berdasar ideologi tetapi menawarkan program. Selain itu muncul kelompok yang didasarkan kepentingan yang bermetamorfosa menjadi partai politik, misalnya Sarikat Dagang Islam, Al Irsyad, Muhammadyah, Serikat Buruh, Nahdatul Ulama.

-Iklan-

Ideologi Kebencian

Perkembangan berikutnya ada partai politik yang didasarkan pada identitas; entah itu suku, ras, agama, dan kedaerahan. Semua partai politik di atas adalah bagian dari struktur negara, memiliki kekuasaan legislatif, dan ditampung di parlemen. Namun saat ini ada gerakan politik yang mengatasnamakan rakyat dan bertindak seperti super partai yang menyatakan bisa  melakukan perubahan lebih dahsyat daripada partai politik.

Gerakan ini tidak lagi ikut konstitusi karena bersifat ekstra konstitusional dan tidak perlu berada di parlemen karena menyatakan ekstra parlementer.

Idiom-idiom mereka persis seperti bagaimana partai politik mengecam kebijakan pemerintah. Kalau partai politik ingin mengubah kebijakan, gerakan  ini ingin mengubah kebijakan tapi dengan cara melengserkan presiden dan menggulingkan pemerintah. Bukan hanya itu, mereka juga siap dengan konstitusi yang lebih mengakomodasi kepentingannya.

Lalu apa ideologi mereka sehingga banyak rakyat yang rela mendukung dan bersimpati. Kalau partai politik memiliki ideologi dan memberikan sesuatu kepada anggotanya, tetapi mereka hanya memanipulasi  kekecewaan dan kebencian terhadap orang-orang yang dianggap menjadi sumber penderitaan.

Ideologi mereka adalah kebencian (The Ideology of Hate) kata David Brooks dalam tulisannya di New York Times.

Kebencian Lahir dari Trauma

Gunawan Mohammad di majalah Tempo juga menulis esai berjudul “Benci”. Dikatakan dalam adegan duel di film Star Wars VI (Episode Return of The Jedi) kepada Luke Skywalker, Darth Vader berseru, “ Luapkan kemarahanmu. Hanya kebencian yang dapat menghancurkan aku”.

Darth Vader memahami, kebencian adalah kekuatan dan kemarahan adalah tenaga.

Seperti inilah tokoh politik dunia berperilaku dari Hitler sampai Donlad Trump, dari Stalin sampai pemimpin ISIS, dari Klu Klux Klan sampai Polpot, dan dari Pengawal Merah sampai FPI. Mereka kobarkan rasa marah, mereka sebarluaskan rasa benci, dan mereka jadikan keduanya ideologi. Entah dari sini berapa kemenangan mereka rayakan dan berapa juta mayat bergelimpangan.

Gerakan  ini akan memilih pemimpin mereka yakni tokoh yang bisa memproduksi kebencian melalui orasi-orasinya, karena makin terakumulasi kebencian yang berujung pada kekerasan, kejatuhan pemerintah akan semakin dekat.

Gabor Mate, dalam tulisan Reza Watimena, mengatakan akar dari kebencian adalah trauma. Penyebar kebencian tentu berpestapora di tengah masyarakat Indonesia yang secara historis memang kaya dengan trauma-trauma  sosial.

Kebencian adalah Narkoba Kehidupan

Trauma adalah jejak masa lalu yang belum lenyap, misalnya penumpasan DI/TII,  PRRI/Permesta, Komando Jihad dll. Selain itu trauma akibat ketidakadilan seperti  dominasi Suku Jawa, dominasi  Cina, kecurangan akibat Pemilu/Pilpres, dan presiden yang suka mengakomodir lawan daripada relawan. Kesenjangan  sosial, politik, dan ekonomi yang besar seperti di Indonesia menciptakan manusia-manusia traumatik yang memendam kebencian.

Kebencian adalah salah satu bentuk “narkoba kehidupan yang menghangatkan”, karenanya terus dipasok oleh penggerak politik yang berideologi kebencian itu.

Kemarahan, kebencian, dan kekerasan atau pembunuhan adalah satu paket yang diperlukan bagi para pemberontak untuk menciptakan suasana amuk atau chaotics.

Dylan Roof membunuh 9 orang di Gereja South Carolina, alasannya membenci orang kulit hitam, kemudian karena benci pada orang Yahudi, Robert Browers membunuh 9 orang Yahudi di Pittsburg.

Contoh-contoh di atas membuktikan bahwa ideologi kebencian juga merupakan bentuk ekstrim yang lebih luas yaitu ideologi antipluralisme yang kini merebak di mana-mana. Nasionalis Trumpian, populisme otoriter, dan jihadis Islam yang mendambakan negara khilafah adalah versi ideologi antipluralisme yang lain.

Antipluralis menuntut perbatasan dan menciptakan dikotomi-dikotomi Islam versus Non-Islam, Wahabi versus Islam Nusantara, fanatisme agama versus sekulerisme, pribumi versus nonpribumi, Islam versus nasionalis, Jawa versus non-Jawa, murni versus tidak murni dan seterusnya.

Baca selanjutnya: Berpolitik dengan Ideologi Kebencian (Bag. 2): Koridor Politik yang Buntu

Berpolitik dengan Ideologi Kebencian (Bag. 2): Koridor Politik yang Buntu

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here