Penulis: Lunna Se
Hujan. Siang ini hujan deras. Aku termangu di teras. Memainkan ujung kuku. Kadang menggigitnya.
“Semalam suamimu pulang terlambat kan? Kamu harus tau, semalam suamimu menghabiskan waktu bersamaku. Aku memberinya kehangatan dan kenyamanan yang tak mampu lagi kau berikan”
Perempuan ini datang lagi kepadaku. Ia selalu datang dan membicarakan perselingkuhannya dengan suamiku. Aku hanya duduk diam di hadapannya dengan lelehan air mata dan hati tercabik. Perih.
“Kamu tau? Suamimu berkata kepadaku ia lebih mencintaiku.
Kepadamu? Ia hanya kasihan! Wanita lemah sepertimu memang merepotkan!”
Ia berkata-kata lagi dengan sinis.
“Pergi kamu dari sini perempuan jalang! Jangan pernah datang lagi ke rumahku! Dan tolong tinggalkan suamiku.. Aku mohon padamu… Tinggalkan diaaaa… Tinggalkan diaaa”
Kali ini aku meraung-raung, meski aku tau perempuan di depanku ini tak akan pernah menggubrisku.
Aku menyadari diriku lemah tak berdaya. Aku perempuan penyakitan. Hampir setiap orang yang ku temui selalu menunjukan wajah sinis dan menakutkan. Mereka semua meremehkan keberadaanku. Sehingga membuatku takut keluar rumah. Aku tak tahan dengan tatapan mereka. Aku memang tak berguna. Aku tak berguna. Aku perempuan tak berguna.
Lebih dari apapun… Mereka aku masih bisa menerima. Tapi suamiku? Mengapa suamiku sendiri mengkhianati pernikahan suci kita? Berkali-kali ketika ia pulang terlambat, perempuan itu selalu datang menemuiku dan memberi tahukan apa yang telah ia dan suamiku lakukan.
Aku kesakitan..
Hatiku hancur berkeping..
Aku tak berdaya.. Aku sendirian..
***
Malam ini ketika jelang tidur. Aku melihat suamiku tersenyum-senyum senang di depan layar ponselnya. Ya. Aku menyadari. Ia pasti sedang bermesraan dengan perempuan itu. Entah cinta macam apa yang membuatnya mabuk. Aku tak tahan lagi. Aku pergi keluar kamar. Dan menangis sendirian.
Lihatlah… Suamiku tak mempedulikan aku. Ia masih asyik di dalam kamar tanpa melihatku di sini. Padahal ini sudah larut malam. Padahal ini sudah hampir jam 2 malam. Aku tak tau harus mengadu ke siapa. Aku langkahkan kaki ini ke luar rumah. Menelusuri jalan kecil sendirian. Aku duduk di bangku taman, ketika seseorang datang kepadaku.
“Malam-malam begini sendirian di sini. Suamimu selingkuh?”
Aku terdiam.
“Aku tau dari sorot dan raut wajahmu. Suamimu punya perempuan lain kan? Kamu perempuan penyakitan kan? Kamu lemah. Tak ada seorangpun yang peduli kepadamu kan?”
Aku masih terdiam.
“Kalau aku jadi kamu. Aku akan bunuh dia! Aku bunuh dia! Aku bunuh dia!”
Suaranya semaking melengking.
“Ayo.. Kamu harus mampu membunuhnya! Kamu jangan lemah! Tunjukan bahwa kamu kuat dan mampu mengalahkan dia! Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh dia!”
Aku tak tahan dengan suara lengkinganya yang menyakitkan. Aku tutup telingaku. Aku berlari. Berlari kembali ke rumahku. Suara itu masih mengikutiku..
“Bunuh dia! Bunuh dia! Kamu perempuan lemah! Bunuh dia! Perempuan bodoh!”
***
Suatu pagi yang gerimis. Ketika aku dan suamiku berada di meja makan. Ia yang membuatkan aku sarapan. Setiap pagi. Sejak aku penyakitan. Aku hanya memandangi omelet di hadapanku. Hatiku terasa sakit. Aku tau kebaikannya hanyalah bentuk dari rasa kasihan kepada perempuan lemah sepertiku. Ia tak lagi mencintaiku.
“Sayang.. Kamu mau jalan-jalan bersamaku?”
Aku terdiam tak menjawab. Tatapanku masih tertuju pada makanan di piring. Bayangan perempuan yang selalu mendatangiku terlihat jelas. Setiap kalimatnya masih terdengar jelas.
Aku memainkan garpu dan pisau di atas piring. Tanpa memakannya satu suap pun. Aku membayangkan bahwa omelet di hadapanku ini suamiku. “Bunuh dia! Bunuh dia! Bunuh dia!”
Kata-kata tersebut menggema lagi. Aku menusuk-nusuknya. Aku tusuk lagi dengan sengit. Aku tusuk lagi sehingga suara piring dan pisau beradu kencang.
“Sayang…”
Suamiku memanggilku. Aku tak menghiraukan. Aku tau ia hanya pura-pura baik terhadapku. Sebab kenyataanya di belakang dia berselingkuh. Aku menghentikan kegiatanku.
“Perempuan itu. Selalu datang menemuiku. Dia sudah menceritakan segalanya”
Entahlah. Kata-kata yang meluncur dari bibirku ini lebih mirip gumaman.
“Siapa yang datang, sayang?”
“Perempuan, yang aku tak tau namanya..”
Aku tak lagi melanjutkan kalimatku. Suamiku mengernyitkan dahi. Menatapku heran. Mungkin dia shock istrinya telah menyadari perselingkuhanya.
***
Aku meninggalkan meja makan menuju taman belakang. Aku bermain-main dengan ujung bajuku. Aku memilin-milinnya. Mataku menatap kosong ke arah ujung kakiku.
Seseorang menghampiriku. Aku ingat, dua tahun lalu aku bertemu dengannya saat pemakaman bayiku. Saat itu ia hanya tersenyum kepadaku lalu memberi tahu “memikirkan perselingkuhan suamimu lebih penting dibanding memikirkan bayi yang sudah meninggal. Suamimu selingkuh yang menyebabkan bayimu meninggal”
Perempuan ini. Perempuan yang kondisinya sama sepertiku. Perawakan kurus dengan sorot mata sayu. Ia duduk di sebelahku.
Ia tersenyum ke arahku.
“Aku tau penderitaanmu. Ketika semua orang tidak lagi peduli padamu. Kamu harus hidup tenang dan akhiri penderitaanmu”
Aku menatap tak mengerti.
“Kamu memiliki obat tidur kan? Minumlah sebanyak yang kamu bisa. Kamu akan tenang. Penderitaanmu akan berakhir. Ikuti saja kata-kataku. Orang baik sepertimu tak layak untuk menderita. Lakukan secepatnya… Temani anakmu di sana. Lakukan segera… Secepatnya.. Segera… Secepatnya… Segera.. ”
Suaranya bergema. Semakin menggema.
Aku menutup telinga. Berlari ke dalam rumah. Perempuan itu memandangku dari kejauhan. Suamiku sudah pergi. Suamiku mungkin kembali menemui kekasih gelapnya. Suamiku saat ini pasti sedang bersenang-senang dengan perempuan itu.
***
Berjam-jam aku habiskan waktuku di teras depan. Rumah ini sangat sepi. Aku tak memiliki kegiatan apapun sejak aku penyakitan. Tak ada orang lain di rumah ini kecuali aku dan suamiku.
Aku memiliki penyakit yang suamiku tak mau memberi tahukan kepadaku. Bukankah sakitku ini parah? Aku tak ingin berobat. Aku tak mau ke dokter. Biarkan saja aku mati perlahan.
Perempuan itu datang lagi…
“Suamimu baru saja bersamaku sebelum dia ke kantor. Kasihan sekali kamu. Perempuan tak berdaya sepertimu memang layak ditinggalkan. Suamimu berkata ia akan menikahiku…”
Kali ini aku tak lagi bisa menahan emosiku. Aku menampar pipi perempuan itu berkali-kali. Aku menjambaknya. Aku melemparkan apa saja yang bisa aku lemparkan ke arahnya. Pot bunga. Guci keramik. Kami saling jambak. Kami bergulat di lantai. Ia terluka. Aku berdarah. Ada banyak luka di sekujur badanku. Aku tidak lagi peduli. Aku atau dia yang mati. Ia membantingku ke lantai berkali-kali.
“Sayang….”
Sayup-sayup aku mendengar suara suamiku. Baguslah! Aku ingin tunjukan keberadaan perempuan laknat itu di sini. Aku ingin tunjukan bukti-bukti perselingkuhanya.
“Sayang.. Apa yang kamu lakukan? Tolong sadar… Sadarlah..”
Aku mendengar suamiku menangis. Ia berusaha keras melepaskan aku. Ia berusaha keras memelukku. Aku meronta. Aku masih ingin menyiksa perempuan itu.
“Bunuh suamimu.. Bunuh segera.. Segera.. Secepatnya..”
Bisikan malam itu terngiang lagi. Aku ingin mencekiknya. Aku ingin membunuhnya. Lihat.. Dia melepaskan aku dari perempuan itu. Dia tak rela perempuan itu terluka.
Aku menjerit…
“Kau lebih membela perempuan itu kan? Kau lebih mencintainya kan?”
Aku meraung raung histeris.
“Tidak ada siapa-siapa di sini sayang. Tidak ada perempuan manapun di sini. Tak ada siapa-siapa…” Suamiku menangis. Ia memeluku. Aku rasa dia buta.
“Sayang.. Kamu terluka. Kita harus segera ke rumah sakit”
Aku tak berdaya. Aku tak lagi ingat apa-apa.
***
Aku membuka mata ketika aku sudah berada di dalam ruangan. Aku berbaring dengan kedua kaki dan tanganku terikat.
Perempuan dengan mata sayu sedang menatapku di pojok ruangan.
“Harusnya kamu ikuti saranku. Harusnya kamu bunuh saja dirimu dengan obat tidur dngan tenang. Akhirnya begini kan? Kamu terikat di dalam ruangan. Kamu terpenjara. Tak ada lagi yang akan menolongmu. Tak akan ada lagi yang peduli padamu”
Ia sibuk menyalahkan aku. Aku menatapnya nanar. Pintu ruangan terbuka tanpa aku mempedulikan siapa yang datang. Aku masih menatap perempuan bermata sayu yang masih saja berkata-kata kepadaku..
“Siapa yang kamu lihat, sayang?” Suamiku duduk di samping pembaringan.
“Jangan pedulikan siapapun yang kamu lihat sayang. Mereka semua tidak nyata. Mereka semua hanya hausinasi” Aku tak mengerti apa yang dia bicarakan.
“Ke sini sayang.. Tatap aku. Aku tidak pernah sekalipun meninggalkan kamu. Maafkan aku tak pernah memberitahu keadaanmu. Aku hanya ingin kamu bahagia. Tanpa aku sadari keadaan menjadi seperti ini…”
“Semua yang datang kepadamu. Mereka tidak nyata. Mereka tidak ada. Hanya halusinasi. Tolong jangan pedulikan kedatangan mereka.. Jangan sakiti dirimu karena mereka…”
Suamiku menangis. Aku tak sepenuhnya mengerti kata-katanya…
Ia melepas tali di tanganku yang terikat dengan besi ranjang. Memelukku. Sementara di belakangnya perempuan bermata sayu terus memandangku. Bibirnya berkata-kata ke arahku..
“Akhiri semuanya. Akhiri segalanya. Secepatnya. Segera. Temani anakmu di surga. Secepatnya… Segera…”
***
Ruang 1029.
Seorang perempuan sedang dirawat di dalamnya.
Itu aku. Marianna… . Seorang pasien pengidap schizophrenia.
Duniaku berisik. Duniaku terlalu ramai. Duniaku terlalu banyak kata. Mereka di sekitarku. Mereka sosok menakutkan. Mereka mengikutiku. Mereka mengejarku. Mereka mengejekku. Mereka menertawaiku. Mereka membuatku terluka. MEREKA TAK AKAN PERNAH KALIAN LIHAT.