Gonjang ganjing penghinaan lambang negara oleh BEM UI menggema ke seantero Indonesia dengan daya rusak yang luar biasa. Entah ini kesuksesan Ketua BEM, PD, oknum PKB, atau PKS, atau hanya sebentuk riak kecil pembalasan dendam kaum radikalis yang bernaung di bawah organisasi terlarang macam FPI dan HTI. Yang pasti hasilnya adalah merusak, mengganggu ketenangan yang sedang dibutuhkan dalam menghadapi pandemi, mempermalukan almamater Universitas Indonesia, menjadi bukti seberapa miskinnya generasi sekarang dalam pemahaman akan berbudaya dan berakal budi, serta seberapa murahnya harga diri seorang mahasiswa.
KOLOM
OPINI
Roger “Joy” P. Silalahi
Bagi Ketua BEM UI ini terasa sebagai sebuah sukses besar yang membuatnya jadi terkenal, dikenal oleh banyak sekali orang, terlepas dikenal sebagai orang hebat atau orang tak berotak, sebagai orang kritis atau orang sinis, yang jelas (dan penting untuk dia) adalah menjadi terkenal. Berbagai kalangan membicarakannya, bahkan beberapa orang yang sempat terkenal di Indonesia membelanya dengan mengatasnamakan “kebebasan berpendapat”, dia bangga, walau kenyataannya dia hanya dijadikan satu pijakan untuk kepentingan berbagai orang, dan selanjutnya dibuang dan dilupakan.
Sejarah menunjukkan berbagai hal yang cukup mencengangkan, dimana pada masa pemerintahan sebelum yang sekarang, dia sudah berada di dekat sumbu kekuasaan. Pada tahun 2013 sudah diundang ke istana oleh Ibu Ani, sehingga terbuka satu keniscayaan, menjadi orang binaan PD sejak lama. Waktu berjalan dan seiring dengan kontak di lingkaran kekuasaan, dia ditarik masuk dan menjadi Ketua HMI, inilah titik awal kejahatan memasuki kehidupannya, diincar dan berhasil dirangkul PKS dengan gerakan tarbiyah-nya.
Masuk Universitas Indonesia di tahun 2017, bermain dalam lingkup politik kampus, dengan dukungan praktisi politik negeri. Track record pernyataan demi pernyataan menunjukkan dia berada dalam naungan perongrong kekuasaan, setting rapih yang dijalankan “orang pintar” di belakangnya menempatkan dia di UI, lalu jadi Ketua BEM UI, dan sukses menjadi Ketua BEM UI. Seperti pendahulunya, lingkaran yang ada di sekitarnya adalah lingkaran anti pemerintah (Jokowi), sebut saja Manik (2019) yang membela KPK dan bermain di Pilpres namun gagal, lalu Fajar (2020) yang mencoba membela FPI, dan gagal, didikan dan pendampingan yang didapatkannya memang dari kalangan yang sama, jadi wajar, karena perilaku jahat itu dipelajari, dalam kasus ini bukan saja dipelajari, tapi diajarkan.
Sedikit perbedaan dari pendahulunya adalah, langkah-langkahnya lebih teratur, rupanya para pendamping belajar banyak dari kegagalan-kegagalan sebelumnya. Mencoba maju membela Novel Baswedan dan 74 KPK lainnya yang tidak lulus TWK, gagal lagi, kendati sudah mendapatkan briefing dari Bachtiar “Rumah Kepemimpinan” yang Sekjen ILUNI UI itu. Maka disusunlah langkah baru, pernyataan dikeluarkan bukan tanpa rancangan, dan maaf, terlalu jelas ada “orang pintar” di belakang setiap pernyataannya, dan ada perlindungan yang diberikan, maka tidak heran dia berani menghina dengan suara lantang. Penghinaan dengan kasar dan tak bertatakrama ini diperintahkan demi memastikan suksesnya kekisruhan, agar tidak gagal lagi.
Pembelaan atas nama “kebebasan berpendapat” datang dari PSI melalui Tsamara, yang terlalu jelas hanya sekedar “numpang tampil” dengan embel-embel “Tidak setuju pernyataannya tapi mendukung kebebasan berpendapatnya”, jelas hanya sekedar menaikkan rating pribadi atas persetujuan partai yang yakin bahwa kasus ini layak dijadikan tumpangan, yang saya yakin merupakan langkah kecil lain kaum radikalis melalui Faldo Maldini mengecoh lini massa. Kalaupun menghasilkan pertidaksetujuan dari pendukung PSI, maka “Nanti kita bisa raih lagi, yang penting terdengar dulu…”.
Lalu Faisal Basri, orang yang banyak disebut sebagai anggota “barisan sakit hati” langsung menyambar dengan bahasa “Leon dkk, jangan gentar. Kalian pantas muak dengan keadaan negeri. Tahu kan mengapa rektor takut dengan sikap kalian,”. Faisal sama saja, ikut menikmati berselancar di atas ombak besar. Lanjut terbongkar peran Veronica Koman sebagai salah satu mentor terkait “Nyali”, keberanian untuk berbuat salah rupanya sudah menjadi kebanggaan, pengkhianatan sudah menjadi nafas kehidupannya.
Belum selesai, hari ini (30 Juni 2021) dengan bangga mempublikasikan berhasil melaksanakan rapat dengan TGUPP Anies Baswedan, maka semakin jelas warna dan siapa yang ada di belakangnya. Kekuatan PKS dan jaringannya sangat jelas bermain dalam kekisruhan ini, dukungan tarbiyah dari BEM-BEM lain mulai menyambar, menunjukkan pemanfaatan jaringan tarbiyah guna mendukung dan memperbesar kekisruhan.
Sekarang sang Ketua BEM menanti perintah lanjutan dari pemeliharanya, entah akan dimanfaatkan untuk apa lagi, tapi dari arah statement berbagai pihak pendukungnya, mereka mau menurunkan Jokowi. Entah apa dosa Jokowi, apakah sedemikian besar dana korupsi yang terhambat, atau sedemikian kuat Jokowi menjaga Indonesia dari serbuan radikalis pendukung ISIS, atau semuanya karena korupsi yang lama berlangsung dan menghasilkan dana abadi para penguasa masa lalu yang terganggu…? Rasanya semuanya adalah kehebatan dan kebaikan, bukan dosa.
Sungguh pintar kaum oposisi meramu dan menciptakan kekisruhan, berbagai hal kecil dilakukan dan dipancing untuk tidak terselesaikan, lalu satu moment dipublikasikan untuk menimbulkan keriuhan, dilanjutkan dengan menaikkan kasus-kasus kecil yang belum terselesaikan, mencoba membenturkan Merah Putih dengan Merah Putih, seraya mengangkat narasi makar, lalu membuka peluang bergabungnya sebagian dari Merah Putih yang kusam, berharap bisa menang di ujung jalan, dan duduk nikmat dalam naungan setan.
Saya yakin, semuanya tidak terbayangkan oleh sang Ketua BEM, dia hanya merasa diri hebat, merasa angin berhembus ke arah yang baik untuknya, tanpa sadar; “layangan yang putus akan diterbangkan tinggi oleh angin, lalu terhempas jatuh karena tidak ada kendali”. Dia hanya merasa sukses, sukses dengan “perjuangan” selama ini, membantu Ayah Angkat, Majikan, dan mendapatkan banyak tepukan di bahunya, walau dia tahu ini semua hanya setting, rancangan tarbiyah PKS, dan dia hanya boneka Tongky yang bergerak sesuai arahan.
Leon, kamu memang sukses, di hari-hari ini, tapi suksesmu bodoh, karena dalam waktu singkat, kamu akan terjerembab dan dirundung berbagai pihak. Seranganmu membahayakan status kemahasiswaanmu, membahayakan kredibilitas yang semakin hari semakin hancur, karena bongkaran aib pribadimu.
Suksesmu bodoh, karena suksesmu hanya sebagai pemicu kekisruhan, mengganggu fokus pada krisis yang sedang dihadapi negara ini, namun tidak akan berhasil meruntuhkan pemerintahan Jokowi. Kamu menempatkan dirimu melawan rakyat, dan akan senantiasa dimusuhi rakyat. Karier yang terlihat membumbung tinggi, akan hancur dalam sekejap, karena negara ini terlalu berharga untuk diserahkan pada para pengacau semacam kamu. Kamu tinggal menunggu waktu.
Suksesmu bodoh, karena kami, mayoritas Alumni UI yang sempat memenuhi GBK dengan warna kuning kebanggaan kami, tidak akan tinggal diam dan membiarkan kebodohanmu menghancurkan almamater yang kami cintai.
-Roger P. Silalahi-