Penulis: La Ode Ronald, pengurus Aliansi UI Toleran (AUTO)
Itu tulisan Erri Subakti menyadarkan kita bahwa di tengah berbagai (sebut saja: puluhan hingga ratusan) kebijakan pemerintahan Jokowi, masih ada yang sengaja terus mengajak perang secara politik dan ideologis, saat negara kita dan dunia sedang bahu-membahu beperang melawan Mutant Covid-19.
Peperangan melawan Covid-19 adalah perang kemanusiaan dan kebangsaan, segalanya dipertaruhkan untuk menyelamatkan Bangsa dan Negara Kesatuan RI dari kebangkrutan sosial-ekonomi secara global.
Satu-satunya modal dasar yang tidak boleh berkurang sedikitpun, apalagi bangkrut adalah Nasionalisme yang Pancasilais.
Menjelang akhir periode pertama, Jokowi sudah berkomitmen akan memerangi radikalisme, yang merupakan sisa PR periode pertama, dan dia mulai membuktikannya dengan antara lain membubarkan FPI.
Setahun sebelumnya, BNPT mengumumkan bahwa beberapa PTN, termasuk UI terpapar radikalisme, dan ketika itu Iluni UI yang diketuai ABH dan sekjen AR menyangkal pernyataan dan hasil penelitian BNPT.
Tapi ketika semua dibuka secara terang benderang, maka tampaklah bahwa radikalisme di kampus itu fakta tak terbantahkan.
AUTO pun lahir gara-gara adanya radikalisme, dan bung AA bekerja sama dengan Setara pernah memberikan presentasi di mana-mana terkait fenomena radikalisme di kampus UI.
Sesungguhnya, persoalan yang kita hadapi saat ini adalah persoalan klasik, yang sudah ada sejak awal kemerdekaan, bahkan pra kemerdekaan.
Politik identitas itu bahasa sekarang, tapi sebenarnya itu fakta kuno ketika dihadapkan pada kondisi kolonialisme atau penjajahan dan ketidaksetaraan dalam kehidupan di suatu wilayah.
Saya suka membaca buah pikiran Bung Karno ketika dia berusaha memunculkan entitas kebangsaan baru yang mandiri (berdikari) dan independen, bernama Indonesia. Dengan adanya Indonesia, diharapkan atau dicitakan tidak akan ada lagi diskriminasi atas nama apapun terhadap sesama anak bangsa (dan kemudian warga negara) Indonesia.
Pemikiran Bung Karno yang genuine, hanya mengambil saripati alam Indonesia, tentang ke gotong-royongan antar sesama manusia yang hidup bersama, tanpa secuilpun mempermasalahkan latar Belakang, latar Atas dan latar Bawah, karena sosialisme itu hanya tentang hidup bersama mengarungi waktu yang jalannya searah, ke depan.
Pancasila itu bukan hasil galian awal, melainkan justru sedimentasi yang dipecah menjadi 5, sebagai upaya merangkul. Jadi istilah “diperas” itu hanyalah metode komunikasi, untuk menjelaskan asal-muasalnya Pancasila, yang aslinya tunggal: kebersamaan atau gotong-royong Nusantara, menjadi nasionalisme, kerakyatan dan kebudayaan.
Bagi yang paham sejarah bangsa Indonesia, tentu tidak akan pernah melihat sisi non Tuhan dalam ranah budaya wangsa Nusantara. Budaya Nusantara memilki dimensi spiritual yang sangat amat kuat, dalam dan tinggi, sebagaimana pada umumnya bangsa Asia, seperti Cina, Jepang, India dan lain sebagainya.
Tuhan atau sesuatu yang memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mendominasi akal pikiran, hati dan ruang gerak manusia Indonesia sudah melekat sejak zaman nenek moyang kita. Simbolisasi pohon, matahari, patung, api, air terjun, hewan, kuil, pura, klenteng, gereja, mesjid, sajadah, arah kiblat dan lain sebagainya hanyalah sekedar bukti empiris bahwa manusia Indonesia, apapun makanan dan minumannya, sejak dalam kandungan ibunya (dan Ibu Pertiwi) sudah berTuhan.
Serta merta, ketika Kusno lahir dia sudah berTuhan, dan ketika dia menggali nilai dari halaman di belakang rumahnya (atau rumah siapa saja) tanah dan air di Nusantara semua ada Tuhannya.
Sejatinya, secara filosofis, historis dan sosiologis, wangsa Nusantara itu semuanya anak Tuhan, sehingga ketika hendak menyusun struktur dan sistim kerajaan, kesultanan dan/atau negara seharusnya Tuhan gak perlu disebut, dibawa-bawa dan dijadikan keset (untuk membersihkan/membenarkan langkah kebijakan).
Masalahnya, ketika sekelompok manusia memahami, bahkan meyakini bahwa Tuhan itu berasal dari luar negeri, terutama dari Arab, lalu mereka memaksakan budaya luar negeri itu dihirup dan dikenakan wangsa Nusantara, maka Tuhan Indonesia yang sudah menjelma menjadi budaya turun temurun yang selaras dan sempurna serta penuh welas asih, menjadi terusik dan bergejolak.
Merdeka sebagai suatu bangsa dan negara yang berdaulat adalah sebuah sikap dan langkah radikal untuk memperoleh nilai dan kondisi yang secara hakiki merupakan hak hidup.
Ketika kemerdekaan tersebut hendak diganggu oleh paham atau ideologi yang berasal dari luar Indonesia, yang bukan hasil galian nilai hidup yang luhur, maka otomatis Ibu Pertiwi akan marah dan melawan.
Radikalisme, intoleransi, diskriminasi atas nama ras, etnis, suku, agama dan golongan, seharusnya sudah tidak ada lagi sejak 1 Juni 1945 atau setidaknya sejak 17 Agustus 1945.
Tapi faktanya, negeri ini selalu diguncang topan badai gurun yang panas dan tajam, yang merusak sendi-sendi kehidupan sosial kebangsaan yang bergotong-royong.
Gotong-royong Indonesia tidak segmentatif, melainkan seharusnya holistik, merangkul, meliputi, mengikat, mengimani dan mengamini semua cita rasa spiritual dan hikmat kebijaksanaan bersama.
Faktanya, sampai hari ini masih ada gereja yang didemo, masih ada makam yang dirusak, masih ada (silakan sebutkan sendiri semua fakta yang membuktikan masih adanya) diskriminasi, intoleransi dan radikalisme atas nama Tuhan masing-masing (agama), sehingga kita tidak pernah selesai dengan urusan Atas, Bawah dan Belakang, padahal kita hanya perlu melangkah ke DEPAN.
Sudah saatnya berhenti berpura-pura atau taqiyyah, bahwa sejak duluuu sekali sampai dengan detik ini yang dimaksudkan dengan Radikalisme itu adalah Radikalisme Agama, alias manipulasi agama, seolah yang dimaksudkan dengan agama itu adalah yang versi Wahabi, HTI, PKS/Ichwanul Muslimin, FPI dan sejenisnya.
Mungkin AUTO fokus saja (bukan settingan camera auto focus, ya) di visi-misinya, melawan dan memerangi exclusivisme, intoleransi, diskriminasi, radikalisme atas nama agama.
Antara lain misalnya, berjuang untuk merevisi UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, agar lengkap menjadi UU Penghapusan Diskriminasi Ras, Etnis dan Agama.
Kita tau persis, bahwa sumber permasalahan dari adanya berbagai langkah kebijakan dan sikap yang intoleran/diskriminatif di semua lini dan level kehidupan bangsa dan negara, karena UU kita belum secara tegas melarang adanya diskriminasi agama.
Ahok dikatakan terpleset, karena dia tidak dilindungi UU Anti Diskriminasi Agama. Seragam anak sekolah juga tidak dilindungi UU Penghapusan Diskriminasi Agama. Perda-perda diskriminatif tidak bisa dibatalkan karena tidak bertentangan dengan UU Penghapusan Diskriminasi Agama. Rumah Ibadah tidak bisa dibangun karena tidak dilindungi UU Penghapusan Diskriminasi Agama.
Radikalisme/Intoleransi di sekolah dan kampus berjalan, karena tidak dilindungi UU Penghapusan Diskriminasi Agama. Perkawinan antar agama dipersulit, karena tidak dilindungi UU Penghapusan Diskriminasi Agama. Eksklusivitas di berbagai ruang dan tempat, terjadi karena tidak ada UU Penghapusan Diskriminasi Agama.
Jadi memang masalah bangsa ini melulu gara-gara komunisme agama (yang ingin seluruh dunia hanya 1 agama), radikalisme agama (yang memaksakan keinginan hanya 1 agama yang memiliki semua hak), intoleransi agama (yang melecehkan dan merendahkan pemeluk agama lain) dan terorisme agama (yang ingin memusnahkan agama lain/pemeluknya).
Radikalisme agama yang sudah ada sejak pengikut sahabat Nabi saling bunuh, kini dalam perjalanan waktu dan di berbagai wilayah menjelma menjadi radikalisme ras, etnis, suku.
Nah, apabila kita saat ini masih dalam visi dan misi AUTO yang sama, maka tidak sulit memetakan mana kawan dan mana lawan.
#sekedarngajakmikir
Baca Tulisan Terkait: BEM UI, Kadrun Versi 4.0, Bring It On