Penulis: Nurul Azizah
Walaupun saya tidak santrinya Gus Dur secara langsung, tetapi saya merasakan ajaran Gus Dur yang begitu menggetarkan jiwa dan menyentuh relung hatiku yang paling dalam.
Saya sangat-sangat bersyukur di penghujung hidupku, Allah SWT mempertemukan saya dengan seorang guru yang sanad keilmuannya terhubung langsung dengan Gus Dur. Guruku sukanya ngumpet, tidak mau disebutkan identitasnya secara langsung, boleh disebutkan identitasnya apabila beliau sudah wafat. Guruku ini adalah santri dalem dari santrinya Gus Dur, sebut saja Gus A, beliau juga ngumpet dari hiruk pikuknya dunia medsos.
Karena saya hobi banget dengan urusan media sosial dan jurnalistik, maka saya didawuhi oleh guru saya untuk dakwah melanjutkan perjuangan Gus Dur melalui medsos.
Selama saya menjadi santrinya, pribadi atau tokoh yang sering menjadi acuan dan tauladan adalah Gus Dur, mbah Maemun Zubair, Habib Lutfi bin Yahya, Gus Muwafik, Gus Baha, Gus Miftah, Sayyid Seif Alwi, Kiai Said Aqil Siradj, Gus Mus (KH. Mustofa Bisri Rembang) dan lain-lain ulama serta kiai-kiai khos NU.
Untuk membentuk jiwa NU yang tangguh dalam diriku, guru selalu mengambil suri tauladan dari sosok Gus Dur dan simbah Maemun Zubair, serta ulama-ulama NU lainnya. Dan terus menyuarakan untuk selalu ingat kepada Allah SWT dan Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada kesempatan ini penulis akan ngudo roso (mengungkapkan) tokoh Gus Dur, yang sudah banyak diketahui orang diseluruh Indonesia bahkan dunia.
Kalau ajaran yang disampaikan oleh mbah Maemun itu tentang kelembutan hati seorang manusia. Ada rentetannya dengan perilaku satu dengan yang lainnya. Yang tampak nyata adalah ajaran yang sudah banyak disampaikan oleh Gus Baha. Saking lembutnya ajaran yang dicontohkan oleh Mbah Maemun Zubair sampai saya tidak bisa menuangkan dalam bentuk kata-kata. Biarlah saya sendiri yang merasakan, entah kapan saya bisa menulis tentang kelembutan hati mbah Maemun Zubair.
Mereka semua adalah ulama-ulama besar di Nusantara, beliau-beliau penjaga NKRI, penjaga Nahdlatul Ulama (NU), yang didirikan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Para ulama NU sebagai dzuriyah pendiri NU selalu mengajarkan agama Islam rahmatan lil alamin yang memiliki sanad keilmuan yang jelas melalui para guru yang terhubung langsung dengan Rosulullah Muhammad SAW tanpa putus.
Gus Dur atau KH. Abdurrahman Wahid Presiden RI ke-4 yang menjadi cucu KH. Hasyim Asy’ari merupakan sosok waliyullah. Seluruh wali di bumi atau Auliya’illah min Masyariqil Ardhi ilaa Maghoribiha kenal sama Gus Dur.
Gus Dur adalah murid dari Habib Ali bin Abdurrahman Al Habsyi Kwitang. Gus Dur waktu kecil diajak ayahnya KH. Abdul Wahid Hasyim Asy’ari, ke kediaman gurunya. Di Jakarta beliau sempat mengkhatamkan 9 kitab langsung di hadapan Habib Ali Al Habsyi.
Ternyata dari berjuta-juta orang yang mencintai Gus Dur, ada saja pihak-pihak yang tidak suka dengan Gus Dur. Kelompok minhum dan para pembenci yang mendarah-darah. Saya yakin mereka bukan membenci sosok Gus Dur, tetapi membenci organisasi yang diketuai, dinakhodai oleh Gus Dur, yaitu Nahdlatul Ulama. Mereka yang berkoar-koar membenci NU adalah boneka-boneka suruhan para bohir (penyandang dana) yang memang tidak suka kalau NU menjaga keutuhan NKRI.
Para pembenci NU, selalu memfitnah dan menyerang Ketua NU. Dari zaman KH. Hasyim Asyari sampai KH. Said Aqil Siradj, sekarang dipimpin oleh Gus Yahya Cholil Staquf. Ada saja fitnah yang ditujukan kepada Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Para pecundang menyerang NU, jadi siapa saja yang menjadi Ketua NU, ya bersiap-siaplah difitnah, dihujat, dimaki-maki.
Bagi yang paham gerakan para pengasong khilafah, pasti segala macam fitnah sudah dirasakan oleh Ulama NU yang menjabat sebagai Ketua Umum PBNU.
Mental mereka sudah terasah, dari zaman KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbulloh, KH. Bisri Syamsuri, KH. Ahmad Shiddiq, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), KH. Hasyim Muzadi, KH. Said Aqil Siradj, hingga KH. Yahya Cholil Staquf.
Dari sekian kiai-kiai yang memimpin NU, mereka terus bergerak melawan kelompok minhum tersebut, tak terkecuali Gus Dur. Gus Dur difitnah dan dihujat dengan kata-kata, “Sesat, kafir, murtad, liberal, antek yahudi” dan lain-lain.
Gus Dur menghadapi semua hujatan dan fitnah dengan senyuman khas yang dimiliki beliau. Kalau pun komen beliau hanya bilang, “Emang gue pikirin, begitu saja kok repot.”
Setelah Gus Dur sedo, Allah menunjukkan kharomahnya. Yang dulu suka memfitnah, menghujat, pada menyesal, karena ngendikane (apa yang diomongkan) Gus Dur, satu per satu terbukti. Gus Dur itu memaafkan semua orang yang membencinya, tapi ingat Gus Dur tidak ‘lupa’ akan hinaan itu.
Pada tanggal 30 Desember 2009 ketika terdengar berita Gus Dur wafat, langit Indonesia mendung. Seluruh rakyat Indonesia berduka atas meninggalnya Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid. Sepanjang jalan menuju Ciganjur Jakarta Selatan (kediamannya Gus Dur) macet total. Semua orang berduka dan berbela sungkawa atas meninggalnya Gus Dur. Baik dari kalangan negarawan, TNI, POLRI, Kiai, santri, warga Nadhliyin, warga Muhammadiyah, abangan, Pendeta, Romo, Bhiku, Penganut Konghucu, ahmadiyah, dan seluruh masyarakat Indonesia berduka yang sangat dalam.
Mereka menyatakan duka nestapa teramat dalam dan rasa kehilangan atas kepergian orang yang dicintainya.
Banyak orang mendoakan atas wafatnya Gus Dur, merekapun mendoakan semoga keluarga diberi kekuatan, kesabaran dan keikhlasan.
Mengapa demikian, karena selama hidup Gus Dur selalu membagi kegembiraan, cinta dan harapan pada bangsa, negara dan siapa pun orang yang tak berdaya. Mereka belum sempat membalas kebaikan Gus Dur, Gus Dur telah berpulang ke haribaan Allah SWT, dengan damai dalam keabadian.
Karangan bunga yang warna-warni sepanjang jalan menuju Ciganjur berjejer dan tak berjarak bahkan bertumpuk.
Ribuan orang datang ke Ciganjur rumah duka, menyatakan bela sungkawa kepada keluarganya dan bertakziyah kepada alm. Presiden RI ke-4. Dan tentunya jutaan masyarakat yang jauh dari Ciganjur juga mendoakan atas wafatnya guru bangsa.
Banyak orang menangis atas kepergian Gus Dur. Saya sering memutar video ceramahnya Gus Dur: “Antara Nangis dan Tersenyum,” dengan sederhana Gus Dur menceritakan ketika kita dulu saat menjadi bayi, bayi yang terlahir menangis sementara orang lain bahagia karena kelahiran bayi tersebut. Ketika kita meninggal dalam kondisi tersenyum, orang lain malah menangis.
Kalau dalam ilmu tasawuf: “Ketika jiwa pergi dalam keadaan bersih, tanpa membawa kotoran duniawi, dan selama hidupnya didedikasikan untuk orang lain tanpa pamrih, maka jiwa tersebut bahagia, dan siap memasuki wilayah alam yang tidak terlihat oleh indera. Meninggalnya dalam kondisi husnul khotimah, yang memang dirindukan kepulangannya oleh Allah SWT. Kondisi yang baik dan diridhai Allah SWT.
Ribuan bahkan jutaan orang pada malam tanggal 30 Desember 2009 berduka dan menangis tersedu-sedu. Hanya Gus Dur yang senang, riang dan gembira pulang menghadap Sang Kholik dalam keabadian.
Ketika jenazah diantar ke rumah asal di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur untuk dimakamkan, jutaan umat manusia menyaksikan baik melalui siaran telivisi maupun datang ke Tebuireng.
Jenazah Gus Dur telah beristirahat dengan tenang selama-lamanya di samping ayah (KH. Wahid Hasyim) dan kakeknya (KH. Hasyim Asy’ari). Para santri Ponpes Tebuireng menyebut mereka bertiga sebagai kaum bangsawan yang mulia (Al-Kharim).
Pada haul peringatan 12 tahun wafatnya Gus Dur, 30 Desember 2021, banyak orang datang berziarah ke makam beliau, banyak yang kirim doa, banyak yang merasa kehilangan atas sosok guru bangsa. Gus Dur didoakan dari berbagai kalangan putra-putri bangsa, dari berbagai suku dan agama.
Mereka secara khusyuk mendoakan alm. Gus Dur, semua seakan-akan mengenang Gus Dur dengan memahami fenomena seorang guru bangsa yang telah berpulang ke hadapan Allah, tetapi ajaran kebaikan dan ketulusan, keikhlasan, cintanya antar sesama manusia menancap kuat di hati semua rakyat Indonesia.
Siapa yang menggerakan mereka semua, untuk mengadakan doa bersama lintas agama, lintas budaya, semua manusia tumpah ruah di berbagai daerah mengadakan kegiatan yang intinya mendoakan atau kirim doa ke alm. Gus Dur.
Semua orang memberi hormat kepada Gus Dur, semua berharap agar cita-cita Gus Dur diteruskan oleh siapa saja. Semua orang dihaulnya ke-12, mengirimkan doa-doa, wirid, dzikir, mantra, dan doa-doa lintas agama yang bergemuruh memenuhi ruang maya, menembus langit sampai ujung tanpa batas.
Dan di akhir tulisan ini, saya juga berkirim Al-fatihah kepada alm. Gus Dur, Insya Allah Gus Dur husnul khotimah dan makamnya menjadi roudhoh min riyadhil jannah. Lahumul Fatihah…, Aamiin.