Penulis: Dahono Prasetyo
PDIP termasuk paling unik untuk urusan suksesi. Di saat partai lain sedang kasak-kusuk berkoalisi mencari figur mana yang layak diusung, PDIP justru malah memecah dukungan sosok yang sudah layak diusung. Gesture Politik elite PDIP kepada Ganjar di masa prematur Pilpres yang masih 3 tahun lagi, tidak bisa berbohong. Bahwa memang benar ada friksi-friksi saling seruduk di kandang Banteng.
Bambang “Pacul” Wuryanto sedang memangkas buah ranum sebelum waktunya dipetik. Pernyataan bernada emosional menunjukkan kecemburuan politik pada seorang Ganjar. Bangunan elektabilitas di media sosial dianggap overlap pada kepentingan internal partai.
Bukan yang pertama kali pernyataan elite PDIP gerah dengan popularitas Ganjar. Setelah sebelumnya menyepelekan hasil kajian lembaga survey, kini menggandakan kegeramannya dengan mengganggap kekuatan medsos atas perintah Ganjar. Di era keterbukaan media dan digital informasi, memusuhi lembaga survey sekaligus netizennya ibarat bunuh diri di tengah pasar. Hanya elite PDIP yang mampu melakukan arogansi tersebut lengkap dengan resiko yang akan terjadi.
Kalau pernyataan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah dianalogikan permainan “playing victim” demi mengangkat sosok Ganjar, itu tidak masuk akal. Ganjar yang elektabilitasnya sudah tinggi tidak perlu ditinggikan lagi oleh sebuah pernyataan anomali.
Mustahil Bambang Pacul berbicara atas kepentingan pribadi di saat dia sedang mesra dengan sosok lain yang lebih berambisi dibanding Ganjar. Bahasa “kampanye” menaikkan Puan dengan merendahkan Ganjar menjadi strategi yang mudah ditebak. Siapa sebenarnya yang lebih berambisi dengan gaya serudukan, penonton politik sudah bisa menebak. Puan yang sudah kalah start duluan meraih simpati, terpaksa harus menggunakan doktrin tangan besi untuk berpacu mengejar ketertinggalannya.
Entah karena Puan tidak ada prestasi yang layak dikampanyekan, membuat tim sukses kebingungan harus menyampaikan apa. Yang kemudian terjadi justru membicarakan prestasi Ganjar dengan menganggapnya bukan sebuah prestasi. Konyol bukan?
Dalam situasi naif, selalu muncul kelucuan di luar strategi. Berharap Ganjar terpancing merespon pernyataan, justru malah yang bersangkutan asik gowes tanpa beban. Mengayuh terus tidak peduli kejaran ombak buatan di belakang.
Jawa Tengah menjadi lumbung kemenangan terbesar Jokowi Ma’ruf pada Pilpres 2019. Meraih 77,29% dibanding Prabowo Sandi yang hanya 22,71% siapapun akan mengenangnya sebagai kerja keras Ganjar menyatukan dukungan di basis akar rumput. Ditambah Jawa Timur dengan kemenangan 65,79% menjadi potensi penyatuan dukungan 2 propinsi utama kepada Ganjar.
Fenomena persaingan Soekarno Ideologis dengan Soekarno Biologis yang sedang bergolak, menjadi momentum tepat menyatukan relawan Pro Jokowi 2019 yang sekarang tidak ada kerjaan, untuk memberi dukungan nyata pada Ganjar. Pendukung ideologis yang berbasis pro Jokowi sudah saatnya merapatkan barisan.
Kasak-kusuk di WAG eks Relawan Jokowi sudah mulai mengerucut, mewujudkannya menjadi Deklarasi resmi dukungan kepada Ganjar. Mereka yang “dipaksa” oleh situasi persaingan kurang sehat untuk mendeklarasikan dukungan moril. Cukup sudah opini dan koment di medsos yang selama ini membesarkan Ganjar.
Jangan tanyakan lagi mengapa massa pro Jokowi 2019 harus beralih ke Ganjar. Karena Ganjar salah satu sosok yang bisa menjawab aneka persoalan yang muncul di akar rumput dengan gaya sebagai pendengar yang baik. Sesuatu yang sudah lebih dulu dilakukan Jokowi yang kemudian ditradisikan oleh Ganjar.
Kendala utama Ganjar hampir mirip dengan Jokowi di awal masa popularitas. Berlimpah di akar rumput namun miskin kepercayaan di tingkat elite. Apa sebabnya? Politik kekuasaan di Indonesia yang dikendalikan oleh sebagian elite, masih berkutat transaksional. Tradisi “membeli” dukungan masih terjadi akibat kesenjangan ekonomi.
Deklarasi bukan persoalan kebelet nyapres. Tapi dukungan mesti diwujudkan dalam laku aksi. Tidak butuh persetujuan Ganjar, hanya perlu keberanian menyatakan sikap. Itulah kerja politik relawan sesungguhnya yang dibangun jauh jauh hari. Akan berbeda nilai definisinya jika Deklarasi dilakukan mendekati hari H yang lebih serupa transaksi politik.
Mendeklarasikan seseorang yang sedang di puncak popularitas menjadi dinamika politik. Saat elektabilitas melorot tiba-tiba muncul deklarasi, aroma transaksi politik lebih jelas tercium oleh seorang awam sekalipun.
Hiburan politik dari PDIP menarik untuk disimak, meski pada sisi lain menjadi bahan tertawaan lawan politiknya. Warganet tidak menolak PDIP apalagi memusuhi Puan, tapi gegara Bambang Pacul “memaksa” masyarakat semakin mantap mendukung Ganjar
Jangan heran kalau sebentar lagi muncul hestek #saveGanjar atau sekalian saja #2024GantiPranowo
Baca juga: